Selasa, 24 Maret 2009

Strategi "Special Economic Zones" bagi Kemajuan Ekonomi China

“Bukan kucing yang berwarna hitam ataupun putih, akan tetapi yang terpenting adalah kucing yang dapat memakan tikus”(Deng Xiaoping, 1978).

Ungkapan Deng Xiaoping diatas adalah menggambarkan kondisi dinamika pertumbuhan ekonomi di China. Negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai penganut sistem socialist market economy itu dinilai telah “banting setir” ke arah sistem ekonomi kapitalisme. Ini terbukti dengan Foreign Direct Invesment (FDI) yang masuk ke negara China meningkat tajam. Peningkatan pemasukan ini tidak terlepas dari suksesnya penerapan strategi Special Economic Zones (SEZs) di China. Dalam periode 1979-1985, China berhasil menarik investasi asing senilai US $ 27 miliar hanya dengan membangun empat SEZs di Shenzhen, Zhuhai, Xiamen dan Shantou. Jika dibandingkan dengan Indonesia ini berarti 16,5 % dari persetujuan investasi Indonesia selama tiga dasawarsa.
China sempat mengalami keterpurukan akibat politik isolasionisme lalu diikuti oleh pembukaan paksa beberapa pelabuhan China oleh bangsa Barat dan Jepang. Tahun 1978 menjadi titik tolak bangsa China untuk bangkit. Dipimpin oleh Deng Xiaoping, China melakukan reformasi ekonomi. Tidak seperti pendahulunya, yakni Mao Tse-Tung, yang lebih bersifat isalosionis. Kala itu Deng Xiaoping yang dianggap sebagai pemimpin yang pragmatis mencoba membangun China dengan cara yang modern, bertahap dan tidak revolusioner. Setelah selesai melakukan reformasi di bidang pertanian, Deng melakukan eksperimen di sektor industri dengan membentuk Special Economic Zones. SEZs adalah suatu wilayah terbatas dimana pemerintah China tidak lagi menerapkan peraturan anti-bisnis dengan mengeluarkan kebijakan pajak rendah dan dukungan penuh terhadap barang produksi yang akan dijual ke luar negeri.
Pada awalnya zona ekonomi spesial hanya diterapkan di Provinsi Fujian dekat Taiwan dan Provinsi Guangdong dekat Hongkong. Namun, seiring pesatnya pertumbuhan ekonomi dan kesuksesan China menerapkan strategi ini, maka pembangunan dilanjutkan dengan mendirikan berbagai zona sejanis secara terintegrasi. Ada dua alasan terkait mengapa China perlu menerepkan strategi Special Economic Zones. Pertama, pada masa itu ekonomi China mengalami keterpurukan akibat politik isolasionis dari Mao Tse Tung, sehingga China tidak mempunyai anggaran belanja negara yang cukup untuk membanguin seluruh aspek ekonomi di negaranya. Dengan hanya fokus kepada satu zona ekonomi, diharapkan dapat meminimalisir biaya pembangunan. Kedua, Special Economic Zones dinilai lebih efektif dan efisien ketimbang strategi lainnya. China menjadi lebih fokus ke satu titik perekonomian saja sehingga dapat meraup keuntungan yang maksimal. Negara tirai bambu ini percaya bahwa kesuksesan strategi SEZs ini juga akan melakukan spillover ke wilayah lain.
Deng Xiaoping pada dasarnya tetap berpedoman pada teknik perencanaan yang dibuat oleh Mao Tse Tung. Namun, Deng memodifikasi dengan SEZs yang berpedoman pada strategi pembangunan di Singapura, yakni memulai dengan membuat blok-blok bangunan sebagai infrastruktur dasar. Memasuki tahun 1980-an, China membangun tambang batubara untuk menyuplai peningkatan kebutuhan tenaga listrik. Di tahun 1990-an, mereka beralih untuk produksi gas dan minyak bumi. Pada tahun 2000, China mulai membangun pembangkit listrik dengan kemampuan berkali-kali lipat dari generator utama sebelumnya.
Di zona spesial ini China membuka lapangan pekerjaan bagi penduduknya yang banyak. China membutuhkan berbagai bangunan modern seperti jalan tol, pelabuhan, jalur kereta api dan bandar udara. Kota-kota telah berubah secara cepat dengan kehadiran gedung pencakar langit dan gaya hidup masyarakatnya telah berubah menjadi modern. Sejak saat itu, China menjadi magnet baru bagi investasi modal asing dari seluruh dunia. Kesuksesan strategi ini juga didukung oleh upah tenaga kerja yang murah.
Tiga puluh tahun setelah diluncurkannya strategi ini, kini China telah merasakan perubahan dan hasil yang begitu nyata. Menurut Rene Pattiradjawane, pengamat politik China, sejak tahun 1980, China berhasil mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 75 % di negara berkembang, berarti lebih dari 400 juta penduduk China itu sendiri. Jumlah penduduk miskin yang tinggal di daerah pedesaan juga menurun dari 250 juta menjadi hanya 26 juta. Setelah melewati masa-masa pembangunan infrastruktur dan dilengkapi dengan kebijakan yang mendukung usaha bisnis, serta dikombinasikan dengan upah pekerja yang murah, akhirnya reformasi dan pembangunan ekonomi menentukan hasil sesuai dengan yang diharapkan pemerintah rakyat China.
Terlepas dari menganut sistem ekonomi sosialis ataupun kapitalis, pertumbuhan ekonomi yang pesat dapat diacungi jempol. Keberhasilan penerapan strategi yang berdampak pada kemajuan ekonomi China telah memikat hati penduduk China yang tinggal di luar negeri. Sarjana-sarjana maupun pekerja handal China yang berada di luar China bersedia kembali ke tanah air mereka dan turut membantu pembangunan. Faktor yang menarik mereka kembali bukanlah hanya karena heroisme, namun karena mereka melihat bahwa pertumbuhan ekonomi negerinya sangat menjanjikan. Pemerintah China juga memberikan penghargaan dan kesempaan setinggi-tingginya bagi sarjana tersebut. Fenomena kepulangan para sarjana negeri mereka dikenal sebagai reserve brain drain.
Keunikan China dalam sistem ekonominya yang sedikit kapitalis tetapi “berjubah” sosialis seringkali menimbulkan anekdot yang muncul ke permukaan. Dalam suatu perjalanan melewati kemacetan lalu lintas, Deng Xiaoping ditanya oleh supirnya, “Komandan, kita menemukan masalah di depan. Untuk keluar dari kemacetan kita harus berbelok arah. Papan ke arah kiri menunjukkan tanda komunis, sedangkan papan ke arah kanan menunjukkan tanda kapitalis. Arah mana yang harus saya lalui?”. Dengan santai Deng Xiaoping menjawab, “Tidak ada masalah. Berikan saja tanda lampu sein ke kiri, lalu kita berbelok ke arah kanan.”

Referensi:
- http://www.pattiradjawane.com/index.php?option=com, diakses tanggal28 Mei 2008.
-“Ekonomi China”, http://azharis.wordpress.com/2008/05/27/9, diakses 28 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar