Selasa, 24 Maret 2009

Pahlawan Indonesia di Masa Kini

Terdapat pergeseran nilai dalam memaknai definisi daripada sebuah arti kata pahlawan. Dahulu, pahlawan dikatakan sebagai seseorang yang mempunyai jiwa social responsibility dan bertindak diatas kepentingan umum. Sedangkan masa kini, nilai-nilai itu tidak lagi ditelaah oleh individu dalam masyarakat akan tetapi nilai social responsibility itu justru dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mana bersifat profit oriented. Secara perlahan, nilai pahlawan bergeser dari jiwa sosial yang muncul dari diri sendiri menjadi jiwa sosial yang seakan dipaksakan negara atau bahkan bermotif ekonomi karena ada unsur kapital didalamnya.
Adanya Corporate Social Responsibility (CSR), mengakibatkan nilai-nilai atau aspek dari kepahlawanan akan hilang. Perusahaan-perusahaan besar hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memperhatikan dampak sosial dari lingkungan masyarakat sekitar. Konsep CSR yang seakan-akan menjadi pemaksaan dari pemerintah pada perusahaan, namun perusahaan sebenarnya mendapatkan keuntungan besar dari efek timbal balik CSR tersebut.
Pemerintah terlalu memanjakan perusahaan asing daripada masyarakatnya. Tidak ada hukum yang tegas mengatur kepedulian sosial perusahaan tersebut. Pemerintah terlalu menerapkan prinsip perekonomian liberal dan meminimalisir peran negara. Bahkan untuk masalah sosial pun harus ditanggungjawabkan pada perusahaan, seharusnya CSR dibubarkan dan diganti dengan konsep pajak. Dengan demikian pemerintahlah yang mengatur pajak itu untuk didistribusikan ke masyarakat.
Namun, CSR sebenarnya juga bermotif sosial dan dampak serta akibat yang ditimbulkannya pun membawa ke arah yang positif. Contohnya adalah perusahaan yang peduli terhadap pendidikan dengan membangun sekolah-sekolah swasta. Terlepas dari apa yang didefinisikan tentang kata pahlawan yang bersifat sukarela, hal yang dilakukan CSR juga dapat dikatakan sebagai pahlawan.
Permasalahan ini, jika dilihat dari segi ekonomi politik, merupakan bukti adanya relasi antara negara dengan market. Jika dulu negara yang bertanggung jawab atas permasalahan sosial, maka era kontemporer seperti ini juga menuntut peran pihak swasta atau perusahaan untuk turut bertanggung jawab dan peduli terhadap permasalahan sosial di negara tersebut. Ini bukan merupakan kesewenang-wenangan para korporat terhadap negara akan tetapi sebagai kepedulian atau tanggung jawab perusahaan terhadap kondisi sosial.
Berhubungan dengan masalah ini, studi ekonomi politik mengenal adanya kaum dependensi yang melihat adanya hubungan ketergantungan antara negara maju (core) dengan negara lemah (pheryphery). Kerjasama yang dibangun antara negara core dan pheryphery, seperti halnya perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia menimbulkan adanya ketergantungan Indonesia terhadap investasi asing tersebut.
Teoritisi dependensi klasik seperti halnya Andre Gunder Frank dan Samir Amin melihat keterbelakangan di negara dunia ketiga diakibatkan oleh adanya hubungan dengan negara maju yang cenderung bersifat eksploitatif. Sebagai contohnya adalah perusahaan dari Amerika Serikat yang menguasai sebagian besar pertambangan di Indonesia. Solusi yang ditawarkan oleh beliau adalah pemutusan hubungan kepada negara maju tersebut. Hal ini diyakini dapat menghilangkan adanya ketergantungan dari negara berkembang ke negara maju.
Sedangkan Wallerstein mempercayai bahwa perekonomian dunia sebagai pembangunan yang tidak seimbang yang telah menghasilkan hirarki dari wilayah core, semi periphery, dan periphery. Namun bukan berarti keterbelakangan ini berdampak buruk pada kelangsungan pembangunan. Asumsi dasar dari strukturalis ini adalah bahwa negara dunia ketiga seyogyanya diharapkan mengikuti jalur pembangunan seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju, bukan seperti pandangan radikal yang menginginkan revolusi atau pemutusan hubungan dari negara maju atau kelas kapitalis.
Dalam era globalisasi ini yang mengadopsi perekonomian liberal sangat tidak mungkin untuk menerapkan kebijakan yang menimbulkan kontradiksi dan bersifat isolasi. Kaum liberal menegaskan perlunya perekonomian terbuka yang berdasarkan pada pasar, bebas dari campur tangan politik, untuk menolong menggerakkan sejumlah besar investasi yang dibutuhkan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Teoritisi strukturalis yang lebih moderat, seperti seperti Fernando Cardoso berpendapat bahwa pembangunan dalam dunia ketiga adalah mungkin sekalipun memberikan ketergantungan eksternal dengan kapitalis barat. Maksudnya adalah bahwa ketergantungan tidak selamanya berakibat negatif, justru kerjasama dengan pihak kapitalis menurutnya akan mengarah ke perekonomian yang lebih baik. Contohnya adalah kemajuan pesat perekonomian di negara dunia ketiga seperti Singapura, Korea Selatan, India dan Taiwan. Kemajuan yang diintegrasikan dengan pasar dunia ini sekalipun membawa dalam perekonomian kapitalis tetap akan membawa hasil positif bagi Indonesia. Pahlawan di era masa kini adalah pahlawan yang dapat mengintegrasikan kepentingan bangsa di kancah dunia. Seseorang yang dapat membawa Indonesia mempunyai bargaining position yang lebih dalam pergaulan internasional, namun di satu sisi harus dapat mengatasi problem sosial masyarakatnya seperti halnya yang dilakukan oleh CSR.

Referensi:


- Chilcote, Ronald. H., “The Theories of Comparative Politics”, The Search for a Paradigm, Westview Press, 1981.
- Jackson R., & Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarata, 2004.
- Caporaso. J. “Global Political Economy”, Political Science: The State of Discipline, Washington DC, 1993.
- www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2003/0603/man02.html, diakses tanggal18 Oktober 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar