Kamis, 26 Maret 2009

Elite Politik di Indonesia


Kondisi ekonomi, politik, dan sosial di Indonesia yang sedang pada titik rendah ini mengundang banyak komentar dari berbagai pengamat dan para ahli, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya masalah yang menimpa bangsa ini. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah perubahan diberbagai aspek kehidupan manusia seperti bidang ekonomi, sosial dan politik.
Dalam hal ekonomi, terdapat kesenjangan pendapatan yang nantinya juga mempengaruhi pada perilaku sosial masyarakat Indonesia. Seperti halnya yang dikatakan oleh Marx, bahwa perekonomian adalah tempat eksploitasi dan perbedaan antar kelas sosial, khususnya kaum borjuis dan proletar. Politik, sebagian besar ditentukan oleh konteks sosial ekonomi (R. Jackson 2004; 243). Kelas ekonomi yang dominan juga dominan secara politik.
Hal ini berarti bahwa dalam perekonomian kapitalis, kaum borjuis akan menjadi kelas yang berkuasa. Contohnya adalah pada pemerintahan Indonesia saat ini yang cenderung mendukung perekonomian liberal. Pemerintah sangat apresiatif dengan adanya arus modal asing yang masuk, misalnya persetujuan eksploitasi minyak di Blok Cepu, Tambang Timah oleh Freeport, PT. Lapindo dan seterusnya. Banyaknya korporasi yang menguasai faktor produksi di Indonesia menjadikan mereka sebagai raksasa ekonomi yang juga dapat mengatur ekonomi Indonesia, karena banyaknya arus perputaran uang yang berasal dari kegiatan ekonomi korporasi tersebut. Pemerintah, dengan sisi idealisnya menganggap bahwa modal asing ini berguna bagi pembangunan negara. Namun, pembangunan kapitalis global yang ada justru bersifat tidak seimbang bahkan menghasilkan krisis dan kontradiksi, baik negara maupun antar kelas sosial. Pertarungan antar kelas dan negara yang telah memberikan kebangkitan di seluruh dunia, dan bagaimana transformasi yang revolusioner dari dunia tersebut mungkin akan muncul.
Untuk memahami teori kelas ini, Chilcote menjelaskan dengan beberapa mahzab yakni pluralisme, instrumentalisme, strukturalisme, kritikalisme, dan statisme (Chilcote 1981; 348). Dilihat dari kacamata pluralisme, Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kelompok kepentingan dan demokrasi, hal ini dapat dilihat dari partisipan partai politik yang ada, akan tetapi tidak menjamin membawa kebaikan pada kepentingan masyarakat umum daripada elite. Demikian pula dengan instrumentalisme, bahwa negara Indonesia bukanlah dikendalikan oleh kepentingan kapitalis seperti halnya yang dijelaskan oleh Marx. Pemerintah masih berada dalam tataran netral dalam mengambil setiap kebijakan. Hal ini berkaitan dengan apa yang dikatakan kaum statisme, yakni setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara berdampak pada kelangsungan kelas-kelas yang ada. Lain halnya kaum kritikal yang berfokus pada metodologi dan kritik-kritiknya yang rekonstruktif.
Pemikiran yang tepat dalam menganalisis sistem elite di Indonesia adalah dengan menggunakan pendekatan strukturalisme, terutama mengadopsi sistem dunia dari Wallerstein. Beliau mempercayai bahwa perekonomian dunia sebagai pembangunan yang tidak seimbang yang telah menghasilkan hirarki dari wilayah core, semi periphery, dan periphery. Namun bukan berarti keterbelakangan ini berdampak buruk pada kelangsungan pembangunan. Asumsi dasar dari strukturalis ini adalah bahwa negara dunia ketiga seyogyanya diharapkan mengikuti jalur pembangunan seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju, bukan seperti pandangan radikal yang menginginkan revolusi atau pemutusan hubungan dari negara maju atau kelas kapitalis.
Dalam era globalisasi ini yang mengadopsi perekonomian liberal sangat tidak mungkin untuk menerapkan kebijakan yang menimbulkan kontradiksi dan bersifat isolasi. Kaum liberal menegaskan perlunya perekonomian terbuka yang berdasarkan pada pasar , bebas dari campur tangan politik, untuk menolong menggerakkan sejumlah besar investasi yang dibutuhkan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Teoritisi strukturalis yang lebih moderat, seperti seperti Fernando Cardoso berpendapat bahwa pembangunan dalam dunia ketiga adalah mungkin sekalipun memberikan ketergantungan eksternal dengan kapitalis barat (R. Jacson 2004; 260). Maksudnya adalah bahwa ketergantungan tidak selamanya berakibat negatif, justru kerjasama dengan pihak kapitalis menurutnya akan mengarah ke perekonomian yang lebih baik. Contohnya adalah kemajuan pesat perekonomian di negara dunia ketiga seperti Singapura, Korea Selatan, India dan Taiwan. Kemajuan yang diintegrasikan dengan pasar dunia ini sekalipun membawa dalam perekonomian kapitalis tetap akan membawa hasil positif bagi Indonesia. Menurut saya, strukturalis ini secara riil dapat menjelaskan kondisi Indonesia dibandingkan mahzab idealis lain yang terlalu pesimis memandang hasil dari perekonomian kapitalis.

Referensi:

- Chilcote, Ronald. H., “The Theories of Comparative Politics”, The Search for a Paradigm, Westview Press, 1981.
- Jackson R., & Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarata, 2004.
- Caporaso. J. “Global Political Economy”, Political Science: The State of Discipline, Washington DC, 1993.
- www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2003/0603/man02.html, diakses tanggal18 Oktober 2008.

Beberapa Perspektif dalam Memahami Teori Kelas

Berbicara mengenai teori kelas dalam studi politik tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran teoritisi seperti Marx dan Weber. Walaupun pandangannya mengenai kelas ini berbeda, kedua tokoh ini telah memberikan banyak kontribusi pada studi elite politik, terutama dalam memecahkan masalah konflik antar kelas. Terilhami dari Marx dan Weber, Chilcote memberikan formulasi yang berbeda untuk mempermudah memahami teori kelas, yakni berpedoman pada lima mahzab (Pluralisme, Instrumentalisme, Strukturalisme, Kritikalisme, serta Statisme dan Pertarungan Kelas) yang semuanya memberikan penjelasan tersendiri dalam memahami kelas.
Ronald H. Chilcote melihat dari pendekatan epistemologi dengan mengadopsi dari beberapa mahzab yang berbeda untuk menjelaskan teori kelas. Menurutnya, beberapa mahzab tersebut dapat menjelaskan beberapa fenomena konflik kelas yang terjadi di dunia karena masing-masing mempunyai karakter tersendiri. Misalnya, pluralisme lebih jelas dan cocok menjelaskan fenomena politik di Amerika Serikat, sedangkan instrumentalisme lebih banyak dibahas oleh kelompok penstudi politik di Inggris, strukturalisme juga telah banyak mempengaruhi pemikiran pergolakan politik di Perancis, terutama pada masa Napoleon, kritikalisme merupakan pemikiran yang banyak dimiliki oleh ilmuwan Jerman, serta mahzab statisme dan pertarungan kelas mewakili banyak teoritisi yang membahas teori kelas ini.
Pluralisme
Para ilmuwan mahzab ini umumnya membahas karakter pluralis dari politik Anglo-American. Pluralisme meyakini bahwa demokrasi pada hakikatnya berdasar pada bermacam-macam kepentingan dan penyebaran kekuasaan. Pluralisme ini berangkat dari ekonomi liberal dimana hak-hak kepemilikan individu dan kepentingan privat sangat dijunjung tinggi. Tokoh-tokoh pluralis seperti John Locke, Jeremy Bentham, James Madison, Arthur Bentley dan David Truman sering disebut sebagai teoritisi elit demokrasi. Dasar pemikiran teori elit klasik demokrasi adalah pada setiap masyarakat minoritas dalam sebuah pembuatan keputusan.
Tiga konsep dasar dari pemikiran ini adalah interest group, power dan konflik. Setiap individu harus memperhatikan dan mematuhi aturan dan norma bersama serta kepentingan dalam kelompoknya. Jika tidak demikian, maka akan terjadi konflik kepentingan dalam kelompok itu. Seseorang yang mempunyai kapasitas power yang lebih tinggi seharusnya mengayomi kelompoknya sehingga dapat mengendalikan dan mencegah adanya konflik.
Instrumentalisme
Instrumentalis berpendapat bahwa kaum elite dapat menguasai seluruh elemen masyarakat. Pembagian struktur kekuatan dalam sebuah komunitas pada dasarnya dapat dilihat dari stratifikasinya apakah termasuk upper classes atau bukan. Cara untuk mengidentifikasinya dengan beberapa indikator, yakni pendapatan, okupasi, tempat tinggal dan daya konsumsi. Mereka yang disebut sebagai upper classes dapat mengatur sesuai kehendaknya dan mereka mendominasi kekuatan dengan yang lain dan biasanya terpisah dari komunitas lower classes.
Dalam menganalisis fenomena yang ada, terutama pada konflik kelas, perspektif instrumentalisme cenderung melihat dari alat dan struktur kekuasaan dalam institusi. Banyak pihak yang mengatakan teori ini mengadopsi dari liberalisme korporasi. Sedangkan instrumentalisme marxis menurut Miliband cenderung berpedoman bahwa para eksekutif pemerintahan tak ubahnya dibawah kontrol borjuis, pemerintah hanya dijadikan instrumen untuk mencapai tujuan sesuai yang diinginkan kaum kapitalis.
Kelemahan teori ini adalah bahwa sebenarnya Marx tidak melihat bahwa kelas sosial itu bersifat dinamis dan bukan statis seperti apa yang dikatakannya.hanya mengenai instrumen dan pola produksi tetapi seharusnya mempertimbangkan faktor sosial lainnya.
Strukturalisme
Strukturalisme memandang mekanisme negara sebagai suatu aktor untuk menata kapitalis. Perspektif ini memfokuskan diri pada posisi kelas yang ada. Strukturalisme politik menurut Gramsci menekankan pada posisi hegemoni atau dominan dari kelompok sosial. Krisis hegemoni sama halnya dengan krisis otoritas atau krisis negara.
Teori tentang sistem dunia yang berdasarkan kerangka Marxisme adalah Immanuel Wallerstein tentang perkembangan sejarah perekonomian kapitalis. Wallerstein memberikan banyak tekanan pada perekonomian dunia dan cenderung mengabaikan politik internasional. Beliau mempercayai bahwa perekonomian dunia sebagai pembangunan yang tidak seimbang yang telah menghasilkan hirarki dari wilayah core, semi periphery, dan periphery. Prospek jangka panjang adalah kehancuran sistem kapitalis, sebab kontradiksi dari sistem tersebut sekarang dibiarkan pada skala dunia. Ini merupakan ancaman bagi kapitalisme global, ketika kemungkinan perluasan semuanya digunakan, upaya tanpa akhir dalam mencari keuntungan akan mengakibatkan pada krisis baru dalam perekonomian kapitalis dunia yang cepat atau lambat, akan menuju kehancurannya.
Kritikalisme
Kritikalisme dikembangkan oleh sekelompok kecil ilmuwan Jerman yang dikenal sebagai mahzab Frankfrut. Menurut teori kritis, tidak ada politik dunia atau ekonomi global yang berjalan sesuai dengan hukum sosial yang kekal. Dunia sosial merupakan konstruksi waktu dan tempat, politik internasional merupakan konstruksi khusus dari negara yang paling kuat. Pengetahuan bukan dan tidak dapat netral baik secara moral maupun politik atau ideologi. Pengetahuan membuka suatu kecenderungan menuju kepentingan, nilai-nilai, kelompok-kelompok, golongan, kelas-kelas, dan seterusnya.
Statisme dan Pertarungan Kelas
Esping-Andersen, Friedland, dan Wright (1976) berusaha menghubungkan antara pertarungan kelas, struktur negara, dan kebijakan negara. Menurutnya negara yang mengambil kebijakan untuk menganut sistem liberal kapitalis telah menciptakan adanya kelas-kelas seperti halnya yang dijelaskan Marx. Perbedaan kelas ini memicu adanya pertarungan kelas. Negara tidak bisa lagi membendung kekuatan kapitalis karena kapitalis telah menguasai struktur negara tersebut. Mahzab ini menjelaskan mengenai penyebab pertarungan kelas yang diakibatkan oleh kebijakan negara itu sendiri.
Isu dalam Menganalisis Kelas
Dalam memahami teori kelas, Chilcote memberikan indikasi untuk mengidentifikasi kelas melalui peran negara dan pengaturan kelas, mengkategorikan kelas tersebut, mengkonseptualisasikan kelas, menghubungkan landasan dan suprastruktur, serta melihat implikasi dari prekapitalis dan formasi sosial kapitalis.

Referensi :
Chilcote, Ronald. H., “The Theories of Comparative Politics”, The Search for a Paradigm, Westview Press, 1981.

Asean Economic Community : Simbol Regionalisasi atau Jeratan Ekonomi ?

Konferensi Tingkat Tinggi IX ASEAN di Bali tahun 2003 lalu merupakan sejarah baru bagi kawasan Asia Tenggara, karena mengusung tiga pilar kerjasama yaitu ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Security Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community. Dalam pertemuan itu menghasilkan blue print AEC yang intinya bahwa ASEAN sebagai pusat perdagangan regional yang terintegrasi dan dapat disejajarkan dengan Masyarakat Uni Eropa.
Dalam blue print tersebut terdapat empat prioritas dalam kerangka AEC yaitu adanya arus barang dan jasa yang bebas (free flow good services), ekonomi regional yang kompetitif (competitive economic region), perkembangan ekuitas ekonomi (equitable economic development), dan integrasi memasuki ekonomi global (full integration into global economy). Blue print menggambarkan sebuah kesiapan dan langkah yang harus dicapai dan jadwal pembentukan AEC. Namun, implementasinya tidak "semulus" itu. Diperlukan keterlibatan aktif masyarakat sipil di kawasan ini, bahwa pembentukan komunitas itu merupakan suatu kebutuhan. Merujuk pada kasus Uni Eropa dimana belum sepenuhnya terintegrasi. Mereka bukan hanya membutuhkan waktu yang panjang guna bisa menyatukan diri sebagai sebuah komunitas besar , tetapi juga upaya sosialisasi yang sangat melelahkan dan membutuhkan dana yang banyak pula. Tidaklah mungkin memasuki pasar bebas dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang begitu tinggi.
Oleh karena itulah dalam blue print AEC disebutkan telah memberikan kesempatan negara-negara yang belum siap menghadapi perdagangan bebas ini. Setiap enam bulan antara anggota ASEAN akan melakukan pertemuan guna mengidentifikasi masalah yang dihadapi dan akan membantu negara-negara yang belum siap seperti Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja. Dalam blue print ini setidaknya terdapat 12 sektor yang menjadi prioritas integrasi dalam AEC yaitu produk industri, jasa penerbangan, otomotif, E-ASEAN, elektronika, perikanan, peralatan kesehatan, produk berbahan baku karet, tekstil dan garmen, pariwisata, produk berbahan baku kayu, dan jasa logistik.
Kebersamaan dan kekompakan ASEAN juga diperlihatkan dalam menyelesaikan masalah-masalah bilateral dan regional. Seperti penyelesaian kasus TKW Indonesia dengan Malaysia, masalah penyelesaian konflik Myanmar, hingga menyelesaikan masalah terorisme internasional. Dengan adanya AEC, maka segala bentuk pajak dan tarif dihilangkan berdasarkan prioritas sektor yang disetujui, sedangkan segala faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal diijinkan bergerak bebas melewati tapal batas sepuluh negara anggota malalui pasar bersama. Menurut Eddy Maszudi, Ketua Umum Centre Strategic for Development ang International Relations, fungsi pasar bersama adalah meningkatkan ekonomi melalui konsolidasi kebijakan. Namun realitasnya yang terjadi di ASEAN justru terdapat dua hal yang saling bertentangan. Pertama, anggota menghapuskan hambatan perdagangan di antara mereka sehingga barang-barang mengalir secara bebas dalam perdagangan. Kedua, mereka malah sepakat mamberlakukan negara lain dengan satu kebijakan ekonomi tunggal. Kebijakan-kebijakan ekonomi mereka terhadap negara bukan anggota tidak hanya terkoordinasi tetapi juga serupa dan dilaksanakan secara bersama. ASEAN kemudian menjadi incaran banyak negara seperti Cina, Jepang, dan Korea Selatan berlomba untuk membangun perdagangan bebas dengan ASEAN. Seharusnya hal ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan ASEAN agar tidak hanya menjadi penonton dari perdagangan bebas ini.
Bagi Indonesia sendiri, perlu secara bertahap melakukan program reformasi untuk memperbaiki iklim investasi, memperbaiki birokrasi dan program-program efisiensi. Salah satu implementasinya adalah pada "ASEAN Single Window", yang memperbaiki dan memudahkan sistem birokrasi dan efisiensi kerjanya. Menurut Hasan Wirayuda, peran dan kesadaran dari para pembuat kebijakan diperlukan untuk memulai semua ini. Mereka tidak bisa hanya muluk-muluk dalam ide, tetapi bagaimana mengimplementasikannya, sehingga masyarakat Indonesia benar-benar bisa menjadi bagian dari komunitas ASEAN seperti yang telah dicita-citakan.
Salah satu kritik yang sekarang ini mencuat adalah tentang kesungguhan para pemimpin ASEAN menjadikan kawasan ini sebagai kawasan bisnis. Pemerintah negara-negara ASEAN dikritik tidak memiliki visi yang berorientasi bisnis. Kerjasama ekonomi dan perdagangan diantara sesama anggota ASEAN dinilai belum solid. Pelaksanaan kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) mengalami kemacetan. Padahal AFTA dianggap uji coba untuk menuju pembentukan AEC.
Dalam bidang politik pun, kehidupan demokrasi sebagai barometer kerjasama di negara anggotanya belum terealisasi. Contoh di Myanmar, ASEAN disoroti karena gagal membujuk salah satu anggotanya. Edi Maszudi juga menjelaskan selama ini ASEAN selalu bangga dengan paradigma noninterfence principle. Artinya bahwa anggota ASEAN tidak boleh dan tidak akan melakukan campur tangan terhadap konflik internal. Prinsip semacam ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sebab dalam era globalisasi, demokratisasi dan HAM, sekecil apapun peristiwa politik dalam suatu negara akan berpengaruh terhadap pasar modal. Sedangkan dunia pasar modal adalah masyarakat global, sehingga perlu dilakukan standarisasi demokrasi, HAM, dan sistem ekonomi.
Langkah menuju masyarakat ASEAN yang demokratis, berkeadilan, tertib dan aman tentu membutuhkan proses panjang. Meskipun modernisasi bukanlah westernisasi, kemajuan ekonomi, prinsip demokrasi, berkeadilan, dan keamanan yang terkendali.. integrasi ini, dikalangan negara-negara ekonomi pasar membutuhkan suatu proses panjang dan sulit. Namun semua ini tergantung pada niat dari masing-masing negara dalam memajukan kawasan ini.
Terlepas dari semua itu, seperti yang dijelaskan Bapak Djoko Susilo, anggota komisi I DPR RI, peran individu juga mempunyai pengaruh besar dalam realisasi AEC ini. Individu harus siap bersaing dalam perdagangan bebas ini dan memajukan kawasan dalam tatanan regional yang ada di dunia.

Referensi:

• ASEAN Economic Community Blueprint
• http://www.suaramerdeka.com/harian/0310/07/khal.htm, diakses tanggal 10 Juni 2008.
• http://64.203.71.11/kompas-cetak/0310/07/opini/609704.htm, diakses tanggal 10 Juni 2008.

Rabu, 25 Maret 2009

Penerapan Strategi Militer dalam Persaingan Bisnis

Persaingan bisnis yang kian ketat membuat para pengambil keputusan dalam bisnis untuk mencari dan menggunakan strategi yang tepat demi meraih kesuksesan. Dalam situasi seperti ini, terdapat pebisnis yang berhasil mentransformasikan strategi militer untuk diaplikasikan dalam strategi bisnisnya. Telah banyak perusahaan-perusahaan kelas dunia yang menerapkan strategi militer dalam bisnisnya. Pola persaingan, situasi, dan tujuan yang hampir sama dengan militer ini membuat para ekonom, pebisnis, dan penstudi strategi bisnis untuk melakukan transformasi dan diterapkan dalam strategi bisnis.
Pebisnis, baik seorang manajer maupun pemilik perusahaan telah banyak mengaplikasikan strategi militer ke dalam sistem persaingan bisnis. Sekilas, hal ini sangat mustahil untuk dilakukan, banyak nilai dasar dan elemen-elemen yang berbeda pada aspek militer dan bisnis. Namun, kenyataannya pemikiran Sun Tzu dan Clausewitz menjadi terkemuka dan banyak diaplikasikan dalam dunia bisnis. Penjelasan transformasi strategi militer menuju bisnis pertama kali menjadi objek kajian studi di Harvard Business Study pada era 1970an. Salah satu teoritisinya adalah Michael Porter, yang dikenal dengan teori positioning-nya, yakni menerapkan nilai-nilai strategi militer ke dalam ranah bisnis. Beliau berhasil menguak adanya kesamaan yang terdapat pada strategi militer dan strategi militer yakni dalam filosofi manajemen, yang memuat nilai-nilai untuk membuat keputusan yang tepat dan meraih kemenangan dalam situasi persaingan.
Dalam artikel ini penulis tidak menjelaskan secara rinci tentang cara-cara penerapan strategi militer menuju kesuksesan bisnis, akan tetapi memberikan pemahaman mengenai transformasi nilai dalam strategi militer yang telah banyak diterapkan dalam ranah bisnis. Rumusan masalahnya adalah bagaimana transformasi strategi militer menuju strategi bisnis. Landasan teori yang digunakan adalah penerapan pemikiran Sun Tzu dan Clausewitz serta teori positioning dari Michael Porter. Pemikiran itu sangat mendominasi pada transformasi ini, yakni tentang strategi mengalahkan musuh dalam perang. Untuk studi kasus, penulis akan membandingkan konsep strategi bisnis dengan strategi militer, yakni strategi bisnis Michael Porter dengan Sun Tzu dan strategi bisnis McD dengan Sun Tzu. Dalam setiap transformasi, tentunya terdapat nilai yang diubah. Seperti contohnya medan pertempuran, pola persaingan, instrumen yang digunakan, dan lain sebagainya. Hal inilah yang kemudian dijadikan indikator dari adanya transformasi strategi militer menuju strategi bisnis. Sebelum menjelaskan indikator tersebut, terdapat penjelasan singkat mengenai nilai-nilai yang terdapat dalam strategi militer maupun bisnis.
Strategi Militer
Strategi militer adalah susunan perencanaan untuk melancarkan sebuah peperangan, yang didalamnya termasuk penyusunan bala tentara, pelancaran operasi militer, dan siasat penipuan musuh, untuk meraih kemenangan demi kepentingan politik. Sementara taktik militer merupakan teknik dan perencanaan penyusunan unit-unit militer untuk mengalahkan lawan dalam pertempuran.
Nilai yang tertinggi dalam strategi militer adalah menuju sebuah kemenangan. Kemenangan diraih dengan cara mengalahkan musuh. Dalam mengalahkan musuh harus mengetahui kekuatan dan kelemahan musuh. Sun Tzu telah mendorong munculnya kesadaran terhadap lingkungan eksternal maupun internal dalam mengalahkan lawan. Sun Tzu meyakinkan arti penting faktor fundamental dan dimensi yang akan dibandingkan untuk membangun suatu strategi yang kuat. Faktor fundamental tersebut adalah pengaruh moral, iklim, arena, kepemimpinan, dan doktrin. Sedangkan dimensi yang dimaksud adalah pengaruh moral sang penguasa, kemampuan sang jendral, keunggulan iklim dan lapangan, pelaksanaan hukum dan instruksi, jumlah kekuatan pasukan, pelatihan perwira dan prajurit, administrasi penghargaan dan hukuman. Dari indikator ini jika ditransformasikan dalam dunia bisnis adalah management, manpower, machines, money, materials, methods, dan markets.
Sedangkan ahli strategi militer seperti Clausewitz mencermati bahwa terdapat pola yang relatif saklek pada diri militer di hampir semua negara, yaitu terdiri dari prajurit yang tidak termotivasi dan dipimpin oleh aristokrat. Dalam berperang mereka menggunakan kerangka kerja (framework) yang relatif sama dan taktik yang serupa pula. Oleh karenanya perbedaan antara kalah atau menang dalam suatu peperangan menjadi relatif kecil. Napoleon telah mengubah semua konsep tersebut dan menjadikan kemenangan bukan semata pada kekuatan militer, tetapi juga kekuatan intelektual. Menurut Clausewitz, dalam memastikan keberhasilan suatu strategi adalah sangat penting untuk memadukan keseluruhan organisasi dalam suatu rantai komando formal (formal chain of command) sehingga setiap perintah dapat dilaksanakan tanpa pertanyaan. Menurut Clausewitz, suatu strategi bergantung pada beberapa elemen dasar yang digunakan dalam menyerang, bertahan, dan melakukan manuver. Kombinasi atas elemen-elemen tersebut dibatasi oleh usia, teknologi dan organisasi. Di dalam dunia bisnis ini berarti penggunaan keunggulan jumlah produksi, teknologi, dan sumber daya yang ada untuk meraih keuntungan.

Strategi Bisnis
Konsep dasar strategi bisnis berasal dari strategi militer untuk memenangkan perang. Dalam bisnis tujuan adalah untuk memenangkan bisnis dari persaingan, merebut pasar dan meningkatkan pertumbuhan. Jika dalam kemiliteran menaklukkan musuh, mempertahankan posisi, memperluas teritori (daerah) sebagai misi utama, dalam bisnis yang dikejar adalah mengalahkan pesaing, mempertahankan dan memperluas pangsa pasar merupakan tujuan utama.
Pada masa awal, analogi antara bisnis dan militer memang sangat berdekatan, top management perusahaan dalam menyiapkan strategi bisnis berperilaku seperti perwira tinggi militer dalam menyiapkan strategi perang. Manajer bisnis mengadopsi tingkah laku perwira militer. Untuk mempertahankan pasar, perusahaan harus “berperang”. Jika untuk operasi militer umumnya dibentuk bagian atau divisi dengan fungsinya seperti divisi personil, divisi intelijen dan perencanaan operasi, divisi operasi, divisi logistik, maka dalam organisasi bisnis dikenal adanya departemen, bagian atau divisi SDM, R&D, produksi, keuangan, logistik dan lain-lain.
Dalam kemiliteran, prosedur operasi pada umumnya telah dibakukan (standardisasi). Dalam bisnis kita mengenal SOP (Standard Operating Procedures). Demikian pula, bahasa yang dipakai dalam strategi militer juga diadopsi dalam bisnis, seperti penggunaan terminologi strategi, misi, kampanye, sales force, perang harga dll.
Dinamika Pengertian Strategi Bisnis
Munculnya strategi bisnis ini tidak lain adalah karena adanya taylorisme, yang memisahkan antara decision dengan execution. Pengambilan keputusan dipisah antara pemilik modal (CEO, Owner) dan functional manager. Pemilik modal bertanggung jawab atas kinerja seluruh organisasi atau bagian organisasi yang mandiri, sedangkan functional manager bertanggung jawab atas fungsi tertentu dengan wewenang melaksanakan kegiatan tertentu. Hal ini berbeda dengan strategi militer yang lebih mengutamakan dominasi jenderal dalam pengambilan keputusan. Ini berarti bahwa dalam strategi bisnis efisiensi sangat dibutuhkan daripada prudensi. Strategi bisnis tidak dalam tataran hidup dan mati seperti strategi militer, namun lebih kepada kompetisi.
Pandangan dan analogi militer mulai ditinggalkan pada dekade 1950an, karena jika kita menjual produk sebanyak mungkin tidaklah sama dengan mengalahkan lawan. Jika perang ada pemenang tunggal, dalam persaingan bisnis yang dituju adalah mengungguli pesaing yang belum tentu kalah bersaing terhadap pesaing yang lain atau dalam bisnis lain, sehingga bisa terdapat pemenang ganda (win-win). Dekade 1960an ditandai dengan strategi sebagai rencana kerja yang rumit dan disusun berdasarkan prediksi yang rinci. Gejolak tahun 1960an dengan suksesnya perusahaan Jepang, krisis ekonomi karena kenaikan harga BBM dunia tahun 1970an mendorong berkembangnya teori menajemen strategik, yakni pembagian struktur kinerja tentang pengambilan keputusan dan fungsi tertentu. Dekade 1980an muncul teori Competitive Strategy (Strategi Bersaing) Michael Porter, yang dikenal dengan Five Forces Model yang menjabarkan 5 elemen yang harus dicermati dalam melakukan analisis industri, yaitu: potensi pemain baru, pemasok, pembeli, substitut (pengganti), dan kompetitor dalam industri (biasanya segmen, pasar sasaran, dan positioning yang sama). Dekade 1990an konsep Michael Porter mulai mendapat kritik karena dianggap kurang operasional. Muncul Gary Hamel dan C.K. Prahalad yang menekankan bahwa strategi bisnis harus didasarkan pada sumberdaya dan lingkungan bisnis "nanti" atau yang diantisipasi, bukan "sekarang".
Transformasi dari Strategi Militer
Pudarnya nilai-nilai yang diadopsi dari strategi militer dari dekade ke dekade selanjutnya bukan berarti strategi bisnis dewasa ini menghilangkan seluruh aspek strategi militer. Di dalam sebuah transformasi terdapat beberapa aspek utama yang tidak hilang, namun hanya berubah secara epistemologi saja. Aspek utama itulah yang menjadi indikator dan bukti bahwa strategi bisnis merupakan hasil transformasi dari strategi militer. Indikator tersebut menurut penulis antara lain : arena, pola persaingan, instrumen, aktor, dan tujuan.
Secara epistemologi, terdapat perbedaan yang mendasar antara strategi militer dengan strategi bisnis. Pada strategi militer medan pertempuran menjadi arena, sedangkan strategi bisnis pada pasar. Pola persaingan pada strategi militer berada pada tataran hidup dan mati sehingga prudensi menjadi yang utama, sedangkan strategi bisnis bersifat kompetisi bukan pertarungan yakni mengejar cara ber-efisiensi dan membuat biaya produksi seminimal mungkin. Decision dan execution pada strategi militer dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kedudukan tertinggi, sedangkan pada strategi bisnis terpisah dilakukan pemilik modal dan manajer fungsional, ini terkait dengan efisiensi tersebut. Namun, adanya pergeseran secara epistemologis tidak berarti menghilangkan indikator yang ada. Hal inilah yang disebut dengan transformasi strategi militer menuju strategi bisnis. Aspek utama masih tetap dipakai dan hanya digeser secara epistemologis untuk dapat diaplikasikan dalam ranah bisnis.
Transformasi strategi militer menuju strategi bisnis mulai menjadi objek kajian studi pada dekade 1980an melalui tokoh sentralnya, Michael Porter. Aliran ini disebut dengan teori positioning, yakni meyakini strategi perusahaan merupakan alat untuk mencapai keunggulan kompetitif (menghasilkan keuntungan di atas rata-rata) dalam persaingan industri yang sangat ketat seperti halnya pertarungan pada ranah militer.
Strategi Bisnis Michael Porter
Keunggulan strategi bisnis dari Porter adalah kemampuannya untuk mendominasi diskursus tentang manajemen strategik seperti taylorism, fordism, dll, sejak pertengahan 1970an dan mencapai puncaknya pada dekade 1980an. Porter yang memotori era ini mengintrodusir pemanfaatan pendekatan aliran desain untuk dijadikan analisis lingkungan. Ia berhasil memadukan pendekatan internal (resource-based view) dengan analisis eksternal dan menghasilkan model yang sangat terkenal, yakni competitive analysis, generic strategies, dan value chain.
Competitive Analysis, menjelaskan iklim kompetisi perusahaan di tengah industrinya. Pemikiran Porter ini disebut juga sebagai Porter’s Five Forces yang menjabarkan 5 elemen yang harus dicermati dalam melakukan analisis industri, yaitu: potensi pemain baru, pemasok, pembeli, substitut (pengganti), dan kompetitor dalam industri (biasanya segmen, pasar sasaran, dan positioning yang sama).
Generic Strategies, strategi generik yang diperkenalkan Porter terdiri atas kombinasi dari tiga kemungkinan strategi, yakni cost leadership, differentiation, dan focus. Strategi penekanan harga menitikberatkan pada upaya perusahaan untuk menekan ongkos produksi serendah mungkin sebagai basis persaingan. Sedangkan strategi diferensiasi menitikberatkan pada kemampuan perusahaan menghasilkan sesuatu yang unik dan berbeda dibanding kompetitornya. Sementara itu strategi fokus adalah pilihan perusahaan untuk melakukan spesialisasi pada suatu bidang tertentu sehingga pasar sasarannya relatif sempit.
Value Chain, konsep ini dilandasi dengan pemikiran bahwa kemampuan perusahaan untuk meningkatkan posisi saingnya dipengaruhi oleh pemahamannya tentang proses yang terjadi dalam perusahaan itu sendiri (bandingkan dengan konsep Sun Tzu). Model ini mendiagnosa keunggulan kompetitif suatu perusahaan berdasarkan efisiensi dan efektivitas setiap tahapan proses rantai nilai yang dilaluinya. Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa setiap langkah yang diambil pada suatu segmen proses tertentu akan berdampak pada keseluruhan proses yang terjadi pada perusahaan. Oleh karenanya terdapat kondisi interdependensi saling bergantungan. Terdapat lima kelompok aktivitas utama, yakni inbound logistics, operations, outbound logistics, marketing & sales, dan service; dan terdapat empat aktivitas penunjang, yakni firm infrastructure, human resource management, technology development, dan procurement.
Positioning Strategi Sun Tzu
Beberapa opini yang diutarakan oleh Michael Porter sekilas mirip dengan strategi yang pernah dijelaskan Sun Tzu. Jika disederhanakan, strategi yang dijelaskan Sun Tzu dalam buku The Art of War mengandung tiga prinsip dasar, yakni commitment, observation dan preparation.
Commitment, perusahaan hendaknya tetap konsisten terhadap maksud dan tujuan perusahaan itu didirikan. Dalam ilmu manajemen modern, pegangan para eksekutif adalah Anggaran Dasar perusahaan, dimana maksud dan tujuan perusahaan dituangkan. Sun Tzu mengajarkan bahwa bila eksekutif berhasil membawa semua personil dalam organisasinya dalam komitmen pada sasaran yang sama, maka tidak ada satupun musuh dapat mengalahkannya.
Observation, Sun Tzu mengajarkan bahwa organisasi haruslah menumbuhkan kebiasaan untuk selalu melakukan pengamatan atas tindakan lawan maupun situasi, sekalipun kita tidak dalam posisi terancam. Pengamatan yang tajam atas akan menghasilkan informasi mengenai situasi yang terjadi. Sebaliknya, kita harus mampu mengaburkan pengamatan lawan atas kita. Menurut Sun Tzu setiap gerakan besar lawan, hampir selalu ditandai dengan gerakan kecil terlebih dahulu, sehingga pengamatan yang terus menerus membuat kita waspada atas setiap tanda perubahan dari lawan.
Preparation adalah strategi ketiga dari ajaran seni perang Sun Tzu. Persiapan adalah landasan yang sangat penting untuk memanfaatkan action pada saat kesempatan datang. Pemimpin tidak akan mampu untuk melakukan tindakan guna memanfaatkan kesempatan yang muncul, bila dia tidak siap. Siap dalam arti mencakup struktur organisasinya, penyederhanaan prosesnya, penempatan sumber dayanya, kelenturan organisasi dan pelatihan personil organisasi. Pada hakikatnya, pelatihan adalah persiapan untuk menyambut kesempatan yang akan muncul.
Studi Komparasi : Strategi Bisnis McD dengan Strategi Militer Sun Tzu
Untuk lebih memeperjelas adanya transformasi dari nilai-nilai yang ada pada strategi militer menuju strategi bisnis, maka penulis akan memberikan pemaparan tentang strategi bisnis salah satu perusahaan besar dunia dan mengkaitkannya dengan strategi militer. Berikut adalah strategi bisnis McD yang penulis kutip dari Majalah Marketing, Edisi 2 tahun 2008:
Merek McDonald’s tidak bisa lepas dari nama Ray Kroc, tokoh yang punya mental kuat dan strategi jitu. Dia bukan hanya terkenal sebagai raja burger, tetapi juga pebisnis real estate yang sukses. Seperti pebisnis Amerika lainnya, Kroc bukanlah seorang pencipta. Pasalnya, makanan fast food itu sudah ada sejak lama serta tersedia dalam berbagai bentuk dan rasa. Tetapi, ia punya kemampuan untuk mencerna suatu konsep pemasaran, lalu mengaplikasikan dengan cara yang jitu.
Ia adalah pebisnis pertama yang mampu menerapkan prinsip-prinsip produksi massal dalam industri jasa. Meski tidak tamat sekolah, Kroc piawai menciptakan merek yang abadi, McDonald’s. Merek ini juga bisa menjadi pelajaran bagi banyak perusahaan tentang bagaimana mengelola bisnis dan mengembangkan merek.
Awal 1940-an, Kroc menjadi distributor eksklusif untuk produk mixer. Pelanggan terbaiknya adalah McDonald bersaudara, Richard dan Maurice, yang membeli 8 mixer untuk restoran mereka. Dua bersaudara ini membangun restoran McDonald’s dengan logo "garis lengkung keemasan" yang terkenal itu dirancang oleh Richard McDonald.
Dari sinilah kisah ini berkembang. Sewaktu berkeliling dunia, Kroc sadar bahwa salah satu bisnis yang berpeluang besar untuk berkembang adalah restoran yang berbasis di California dan dimiliki oleh McDonald bersaudara tersebut. Ia juga tahu bahwa mereka menggunakan sistem lini produksi massal untuk membuat hamburger dan sandwich.
Namun, sang pemilik tidak tertarik untuk mengembangkan bisnis lebih jauh. Mereka sudah puas dengan performance saat itu. Ray Kroc yang berjiwa bisnis rupanya pantang menyerah. Ia lalu membujuk kedua bersaudara tersebut untuk menjadikannya agen eksklusif mereka. Pada tahun 1954, Kroc membuka restoran McDonald’s-nya sendiri di Des Plaines, Illinois. Langkah ini merupakan awal dari revolusi bisnis restoran fast food di dunia.
Kroc berhasil meyakinkan dua bersaudara untuk menjual perusahaan tersebut padanya. Harga yang harus dibayar Kroc adalah 2,7 juta dolar. Pembelian itu adalah hasil dari keahlian berdagangnya selama ini. Setelah mengelola McDonald’s, Kroc paham betul bahwa hasil keuntungan terbesar ternyata berasal dari daerah tempat waralaba itu didirikan. Karena itu, tahun 1956, ia mendirikan Franchise Realty Corporation, di mana ia membeli tanah lalu menyewakannya kepada orang lain.
Pada akhir 1961, Kroc telah mampu merekrut banyak franchisee. Keuntungan yang didapat perusahaan dari para franchisee ini mempermudah Kroc untuk menaikkan modalnya di pasar. Ia juga menggunakan sebagian uangnya untuk menggelar kampanye iklan yang berfokus pada maskot perusahaan yang sangat digemari anak-anak hingga saat ini, yakni Ronald McDonald.
Sebanyak 1 miliar hamburger berhasil dijual sampai tahun 1963. Dengan cerdik ia
memajang angka itu pada billboard di setiap restorannya. Pada tahun yang sama ia membangun outlet McDonald’s yang ke-500, dan dimulailah pula debut si badut Ronald McDonald itu. Ronald langsung terkenal di kalangan anak-anak. Mereka jadi sangat kritis dalam menentukan tempat makan bersama keluarga. Menurut John Mariani dalam America Eats Out, berkat ditayangkan dalam iklan TV selama enam tahun, badut Ronald McDonald dikenal oleh 96% anak-anak Amerika pada tahun 1965. Lucunya, angka ini melebihi ketenaran presiden AS.
Dalam mengembangkan usahanya, Kroc tidak pernah berkompromi terhadap kualitas. Ia sangat ketat menjaga kualitas hamburger, pelayanan, kebersihan dan manfaat yang diberikan pada pelanggan. Kualitas yang diberikan selalu nomor satu dan konsisten di tiap outletnya. Konsistensi dalam mutu ini membangun kepercayaan pasar terhadap semua makanan dan pelayanan yang disajikan oleh waralaba kelas dunia ini.
Ia juga ingin makanan bisa disajikan dalam waktu singkat, namun tetap berkualitas tinggi. Oleh sebab itu, para manajer waralaba McDonald’s wajib mengikuti pendidikan di Hamburger University yang didirikannya di Illinois; dan akan menerima gelar BA di bidang “hamburgerology”. Begitu pasar domestik sudah berhasil digarap, Kroc mengalihkan perhatiannya ke luar negeri. Sejak 1967 McDonald memperluas operasinya ke negara-negara di luar AS. Pada tahun 1994, perusahaan tersebut telah memiliki 23.000 restoran McDonald’s di 110 negara dan menghasilkan 34 miliar dolar per tahun. Uniknya, Kroc berprinsip untuk menghormati masyarakat dan budaya tempat outletnya didirikan. Supaya rantai bisnisnya lebih mudah untuk diucapkan oleh konsumen di Jepang, ia bahkan mengganti mereknya menjadi Makudonaldo. Ia pun tidak menyediakan daging babi di India dan Timur Tengah. Sementara di Irlandia ia membuat promosi yang menyatakan, “Our name maybe American, but we’re all Irish.”
Di Indonesia, restoran waralaba ini mempekerjakan karyawan lokal dan memperkenalkan menu variasi yang diadaptasi dari makanan daerah, seperti bubur ayam, ayam goreng, dan sambal. Pembauran dengan budaya masyarakat setempat, menyebabkan McDonald’s mudah mendapat hati penduduk sekitar. Akibatnya, restoran pun cepat berkembang.
Suksesnya ekspansi McDonald’s ke pasar internasional, membuat perusahaan ini
menjadi simbol dari globalisasi dan penyebaran gaya hidup Amerika. Kendati demikian, banyak debat dan opini publik mengenai isu obesitas dan diabetes yang dikaitkan dengan restoran siap saji ini. Kekayaannya (sekitar 500 juta dolar AS) ditaksir tidak berasal dari hamburger semata, tapi juga dari semua real estate sekaligus tanah di lokasi-lokasi strategis yang dimilikinya. Jumlah kekayaannya dalam bentuk properti dan tanah saja sudah sangat fenomenal. Jadi, cukup beralasan bila banyak pihak yang mengatakan bahwa Ray Kroc sebenarnya pengusaha real estate yang sukses dengan kedok restoran burger di depannya.
Jika dibandingkan dengan strategi militer Sun Tzu, strategi bisnis McD juga memiliki persamaan seperti pemikiran Sun Tzu. Petuah Sun Tzu yang sangat terkenal adalah “Kenalilah musuhmu dan kenalilah dirimu, niscaya Anda akan berjaya dalam ratusan pertempuran.” Agar bisa tahu dan mengeksploitasi kelemahan lawan, butuh pemahaman mendalam tentang strategi, kapabilitas, pemikiran, dan hasrat para pemimpinnya seperti juga pengetahuan yang dalam atas kekuatan dan kelemahan diri kita sendiri. Kroc juga telah melakukan ini dengan mengetahui kelebihan restoran yang dimiliki oleh dua bersaudara tersebut, untuk itulah Kroc mengkomersialkannya dan membuka franchise ditempat strategis. Kroc juga mengenali perilaku konsumen yang berbeda di tiap-tiap negara, untuk itulah ia berhasil mengembangkan inovasi dengan membuat menu makanan lokal. Kroc bisa disebut berhasil “memenangkan perang”. Untuk mencegah pesaingnya meniru produknya, Kroc telah mematenkan McD dan merahasiakan resep kualitas produknya. Saat ini co-marketing dan co-branding populer digunakan untuk menaikan marketing relationship, pelengkap produk dan pengalaman yang lain. Menurut Sun Tzu, membangun jaringan aliansi yang kuat merupakan cara untuk membendung gerakan aktratif lawan.
Kelemahan Teori Positioning dalam Mentransformasikan Strategi Militer
Michael Porter telah sukses men-diskursus tentang manajemen strategik dan melakukan positioning strategi militer untuk diterapkan pada bisnis. Beliau mengambil teori pada strategi militer seperti halnya Sun Tzu, Clausewitz, dll untuk diaplikasikan dalam dunia bisnis. Namun, masih terdapat kelemahan dalam teori positioning itu sendiri. Henry Mintzberg, yang juga alumni Harvard Business School, melihat kelemahan teori dari Porter. Mintzberg menilai dalam aliran positioning Porter, fokus strategi menjadi “sempit”. Aliran ini mengarahkan strategi pada solusi generik dan bukan pada perspektif yang unik. Nilai strategi sebagai seni dan kreatifitas yang unik cenderung diabaikan oleh Porter. Hal ini seringkali bermuara pada kegagalan mengembangkan kreativitas, terutama dalam menghadapi berbagai ketidakpastian dunia bisnis.
Fokus aliran positioning terlalu sempit sehingga hanya menekankan pada persoalan ekonomi dan data kuantitatif dibanding persoalan sosial dan politik atau bahkan data ekonomi yang bersifat kualitatif. Konteks kajian yang dipersempit, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai matriks yang ada, aliran positioning mengalami beragam bias seperti tentang bisnis besar yang secara tradisional biasanya paling tidak efektif dalam bersaing. Juga bias tentang kondisi eksternal perusahaan, terutama tentang industri dan kompetisi, yang menjadi semakin tajam akibat kebijakan internal perusahaan. Pada prosesnya, aliran ini lebih banyak melibatkan perhitungan di belakang meja dan menjauhkan analis dari lapangan. Jelas proses seperti ini bisa menjadi tidak sehat karena kurang menghargai keterlibatan emosional dalam proses pengembangan strategi perusahaan.
Kesimpulan
Teori positioning dari Porter telah menjadi bukti adanya transformasi dari strategi militer menuju strategi bisnis. Cara yang dilakukan untuk mentransformasikan strategi militer menuju bisnis adalah mencari nilai utama dari strategi militer yang dijadikan indikator, seperti arena, pola persaingan, instrumen, aktor, dan tujuan, kemudian dirubah dan diaplikasikan ke dalam strategi bisnis. Hal serupa juga dilakukan Ray Kroc dalam memperluas pangsa pasar McD, walaupun tidak sepenuhnya ia menyadari hal itu.

Referensi :

Mulyadi, Ivan., “Pengusaha Burger atau Real Estate”, Majalah Marketing, vol. 2, Jakarta, 2008.

www.clausewitz.com, diakses tanggal 31 Desember 2008.

www.geocities.com, diakses tanggal 1 januari 2009.

www.harvardbusinessonline.com, diakses tanggal 31 Desember 2008.

www.harvardbusinessonline.hbsp.harvard.ed, diakses tanggal 1 Januari 2009.

www.historyofwar.org, diakses tanggal 1 Januari 2009.

www.mustamu.wordpress.com, diakses tanggal 1 Januari 2009.

www.oasis.lib.harvard.edu, diakses tanggal 1 Januari 2009.

www.sadhonohadi.com, diakses 31 Januari 2008.

www.suntzusaid.com, diakses tanggal 31 Desember 2008.

www.thinkingproblemmanagement.blogspot.com, diakses tanggal 2 Januari 2009.

www.valuebasedmanagement.net , diakses tanggal 2 Januari 2009.

www.ve-strategy-class.blogspot.com, diakses tanggal 31 Desember 2008.


Selasa, 24 Maret 2009

Demokrasi Berbalut Komunis ala Rusia

Runtuhnya Uni Soviet yang menandakan berakhirnya era Perang Dingin membawa dunia berada dalam tatanan Unipolar dengan kutub utama berideologikan liberal. Kebijakan Glasnost-Perestroika yang dibawa Gorbachev justru dinilai tidak cocok diterapkan di Soviet. Terbukti dengan banyaknya negara bagian yang memisahkan diri. Ini merupakan fase awal demokratisasi di Rusia. Setelah Uni Soviet runtuh dan lahirnya Rusia oleh Boris Yeltsin demokrasi mulai tersebar di Rusia. Setelah melalui demokratisasi yang berliku-liku, baru pada masa Putin-lah Rusia mulai menunjukkan taringnya di dunia. Seperti apakah strategi demokrasi yang diterapkan Putin?
. Saat Putin ditunjuk sebagai Presiden oleh Boris Yeltsin sebagai penggantinya pada 1 Januari 2000, mayoritas rakyat Rusia tidak mengenalnya. Namun mantan anggota KGB ini berhasil membuat terkejut rakyat Rusia dan dunia pada umumnya. Masa pemerintahan Putin di Rusia dianggap oleh sebagian kalangan sebagai masa kejayaan Rusia. Rusia dianggap lulus ujian dan diakui sebagai super power lagi. Putin berhasil membuat strategi yang tepat bagi Rusia, yakni mencampur rezim otoriter tetapi berprinsip demokrasi. Berbeda seperti yang diterapkan pemimpin Rusia sebelum Putin yang berusaha menerapkan demokrasi total.
Walaupun lembaga pengamat demokrasi seperti Freedom House menggolongkan Rusia sebagai negara yang tidak bebas (otoriter). Rusia justru menjadi negara yang tergolong sejahtera. Rakyat Rusia sudah terbiasa dengan pemerintahan otoriter dan takut kembali seperti era 1990-an yang kacau. Mereka kurang peduli dengan sistem yang diterapkan Putin apakah bersifat demokratis atau tidak. Mereka hanya menginginkan kemajuan untuk Rusia, terutama dalam bidang perekonomian dan kesejahteraan rakyatnya terlepas cara yang dilakukannya. Disamping itu Putin juga ahli strategi Rusia yang mengenal karakter Rusia.
Strategi yang diterapkan Putin memang membuat kagum dunia internasional. Dalam dua kali masa jabatannya (sekitar delapan tahun), sejumlah 20 juta rakyat Rusia dientaskan dari kemiskinan, sistem pendidikan dan kesehatan telah diperbaiki, industri-industri yang dinilai strategis telah dinasionalisasi, pengangguran semakin berkurang, jumlah pembayar pajak meningkat, dan utang luar negeri Rusia terlunasi dengan cepat. Tentunya ini sangat membahagiakan rakyat Rusia karena Putin dinilai berhasil memulihkan lagi Rusia dan mengembalikan reputasi Rusia dalam kancah internasional.
Menurut Susanto Pudjomartono dalam Koran Kompas edisi 8 Januari 2008, terdapat dua hal yang mendukung keberhasilan Putin. Pertama adalah kenaikan harga minyak dunia diatas 100 dolar AS per barel membuat keuntungan Rusia berlimpah, apalagi produksi minyaknya yang begitu besar yakni lebih dari 10 juta barel per hari. Kedua, kepemimpinan Putin yang tegas, tidak ragu, dan sikapnya sulit ditebak membuat hampir semua kebijakannya berhasil. Ini berbeda dengan Yeltsin yang anak dan menantunya ikut campur dalam politik. Putin dikelilingi orang-orang kepercayaan yang kebanyakan memang ahli dibidangnya.
Masyarakat Rusia seakan tidak peduli dengan sistem pemerintahan yang otoriter atau demokratis. Partisipasi politik masyarakat Rusia sejak dulu memang tergolong rendah dan bersifat elitis. Diperkirakan sekitar dua pertiga rakyat Rusia kini tidak pernah langsung berpartisipasi dalam poliik. Sehingga sampai saat ini belum muncul civil society di Rusia. Oleh karena itu, Putin merubah semua ini. Menurut strategi Putin, Rusia memerlukan negara kuat yang bisa menjamin hak individu dan masyarakat. Selama ini hak individu dan kebebasan tidak tertanam kuat di Rusia. Sebaliknya, bentuk kolektivisme dan korporasi selalu di atas hak-hak individu. Maka, paternalisme negara menempatkan masyarakat diatas hak individu. Inilah yang membedakan demokrasi yang diterapkan Putin dengan liberal dari Barat. Ada yang menyebut ini sebagai managed democracy.
Langkah pertama untuk melancarkan aksinya ini Putin menurunkan kekuasaan gubernur yang dulu dipilih oleh rakyat sekarang dipilih oleh Presiden. Meski terlihat otoriter, Putin menyangkal bahwa sebenarnya dia hanya melakukan prinsip check and balances, yakni kontrol penuh atas dirinya yang mengedepankan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu aktifitas rakyat Rusia dalam hal bisnis tidak terbatas di dalam negara saja. Banyak diantara mereka yang beraktifitas di luar negeri, dulu hal seperti ini dilarang oleh pemerintahan komunis. Kebijakan Putin yang visioner adalah mewujudkan kembali kejayaan Rusia dan berhasil menanamkan visi dan memotivasi masyarakat untuk memajukan Rusia. Sosok perwujudan pemerintahannya adalah membangun kekuatan dalam negeri dengan kekayaan alam yang masih terpendam dan sumber daya manusianya.
Putin ingin memperbaiki citra Rusia dalam forum internasional sebagaimana tercermin dalam kebijakan luar negerinya, termasuk kunjungan-kunjungan yang dia lakukan ke negara-negara Asia, misalnya Cina, India, Jepang dan Indonesia, serta keikutsertaannya dalam forum APEC baru-baru ini, untuk membangun kerjasama internasional, sebagaimana dikatakan oleh Putin bahwa Rusia dapat berhasil apabila ikut serta secara aktif proses integrasi regional.
Demokrasi yang diterapkan putin ini walaupun sedikit berbau otoriter namun tertutupi dengan kemajuan dan kesejahteraan yang diperoleh rakyatnya. Setidaknya, kepercayaan yang diberikan oleh rakyat Rusia merupakan dukungan bagi apa yang telah dilakukan oleh Putin sejak ia menjabat sebagai presiden. Satu hal yang terpenting adalah kesejahteraan masyarakat Rusia.

Referensi:
•http://www2.korankompas.com/kompascetak/0712/06/opini/4049417.htm, diakses tanggal 10 Juni 2008.

Strategi "Special Economic Zones" bagi Kemajuan Ekonomi China

“Bukan kucing yang berwarna hitam ataupun putih, akan tetapi yang terpenting adalah kucing yang dapat memakan tikus”(Deng Xiaoping, 1978).

Ungkapan Deng Xiaoping diatas adalah menggambarkan kondisi dinamika pertumbuhan ekonomi di China. Negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai penganut sistem socialist market economy itu dinilai telah “banting setir” ke arah sistem ekonomi kapitalisme. Ini terbukti dengan Foreign Direct Invesment (FDI) yang masuk ke negara China meningkat tajam. Peningkatan pemasukan ini tidak terlepas dari suksesnya penerapan strategi Special Economic Zones (SEZs) di China. Dalam periode 1979-1985, China berhasil menarik investasi asing senilai US $ 27 miliar hanya dengan membangun empat SEZs di Shenzhen, Zhuhai, Xiamen dan Shantou. Jika dibandingkan dengan Indonesia ini berarti 16,5 % dari persetujuan investasi Indonesia selama tiga dasawarsa.
China sempat mengalami keterpurukan akibat politik isolasionisme lalu diikuti oleh pembukaan paksa beberapa pelabuhan China oleh bangsa Barat dan Jepang. Tahun 1978 menjadi titik tolak bangsa China untuk bangkit. Dipimpin oleh Deng Xiaoping, China melakukan reformasi ekonomi. Tidak seperti pendahulunya, yakni Mao Tse-Tung, yang lebih bersifat isalosionis. Kala itu Deng Xiaoping yang dianggap sebagai pemimpin yang pragmatis mencoba membangun China dengan cara yang modern, bertahap dan tidak revolusioner. Setelah selesai melakukan reformasi di bidang pertanian, Deng melakukan eksperimen di sektor industri dengan membentuk Special Economic Zones. SEZs adalah suatu wilayah terbatas dimana pemerintah China tidak lagi menerapkan peraturan anti-bisnis dengan mengeluarkan kebijakan pajak rendah dan dukungan penuh terhadap barang produksi yang akan dijual ke luar negeri.
Pada awalnya zona ekonomi spesial hanya diterapkan di Provinsi Fujian dekat Taiwan dan Provinsi Guangdong dekat Hongkong. Namun, seiring pesatnya pertumbuhan ekonomi dan kesuksesan China menerapkan strategi ini, maka pembangunan dilanjutkan dengan mendirikan berbagai zona sejanis secara terintegrasi. Ada dua alasan terkait mengapa China perlu menerepkan strategi Special Economic Zones. Pertama, pada masa itu ekonomi China mengalami keterpurukan akibat politik isolasionis dari Mao Tse Tung, sehingga China tidak mempunyai anggaran belanja negara yang cukup untuk membanguin seluruh aspek ekonomi di negaranya. Dengan hanya fokus kepada satu zona ekonomi, diharapkan dapat meminimalisir biaya pembangunan. Kedua, Special Economic Zones dinilai lebih efektif dan efisien ketimbang strategi lainnya. China menjadi lebih fokus ke satu titik perekonomian saja sehingga dapat meraup keuntungan yang maksimal. Negara tirai bambu ini percaya bahwa kesuksesan strategi SEZs ini juga akan melakukan spillover ke wilayah lain.
Deng Xiaoping pada dasarnya tetap berpedoman pada teknik perencanaan yang dibuat oleh Mao Tse Tung. Namun, Deng memodifikasi dengan SEZs yang berpedoman pada strategi pembangunan di Singapura, yakni memulai dengan membuat blok-blok bangunan sebagai infrastruktur dasar. Memasuki tahun 1980-an, China membangun tambang batubara untuk menyuplai peningkatan kebutuhan tenaga listrik. Di tahun 1990-an, mereka beralih untuk produksi gas dan minyak bumi. Pada tahun 2000, China mulai membangun pembangkit listrik dengan kemampuan berkali-kali lipat dari generator utama sebelumnya.
Di zona spesial ini China membuka lapangan pekerjaan bagi penduduknya yang banyak. China membutuhkan berbagai bangunan modern seperti jalan tol, pelabuhan, jalur kereta api dan bandar udara. Kota-kota telah berubah secara cepat dengan kehadiran gedung pencakar langit dan gaya hidup masyarakatnya telah berubah menjadi modern. Sejak saat itu, China menjadi magnet baru bagi investasi modal asing dari seluruh dunia. Kesuksesan strategi ini juga didukung oleh upah tenaga kerja yang murah.
Tiga puluh tahun setelah diluncurkannya strategi ini, kini China telah merasakan perubahan dan hasil yang begitu nyata. Menurut Rene Pattiradjawane, pengamat politik China, sejak tahun 1980, China berhasil mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 75 % di negara berkembang, berarti lebih dari 400 juta penduduk China itu sendiri. Jumlah penduduk miskin yang tinggal di daerah pedesaan juga menurun dari 250 juta menjadi hanya 26 juta. Setelah melewati masa-masa pembangunan infrastruktur dan dilengkapi dengan kebijakan yang mendukung usaha bisnis, serta dikombinasikan dengan upah pekerja yang murah, akhirnya reformasi dan pembangunan ekonomi menentukan hasil sesuai dengan yang diharapkan pemerintah rakyat China.
Terlepas dari menganut sistem ekonomi sosialis ataupun kapitalis, pertumbuhan ekonomi yang pesat dapat diacungi jempol. Keberhasilan penerapan strategi yang berdampak pada kemajuan ekonomi China telah memikat hati penduduk China yang tinggal di luar negeri. Sarjana-sarjana maupun pekerja handal China yang berada di luar China bersedia kembali ke tanah air mereka dan turut membantu pembangunan. Faktor yang menarik mereka kembali bukanlah hanya karena heroisme, namun karena mereka melihat bahwa pertumbuhan ekonomi negerinya sangat menjanjikan. Pemerintah China juga memberikan penghargaan dan kesempaan setinggi-tingginya bagi sarjana tersebut. Fenomena kepulangan para sarjana negeri mereka dikenal sebagai reserve brain drain.
Keunikan China dalam sistem ekonominya yang sedikit kapitalis tetapi “berjubah” sosialis seringkali menimbulkan anekdot yang muncul ke permukaan. Dalam suatu perjalanan melewati kemacetan lalu lintas, Deng Xiaoping ditanya oleh supirnya, “Komandan, kita menemukan masalah di depan. Untuk keluar dari kemacetan kita harus berbelok arah. Papan ke arah kiri menunjukkan tanda komunis, sedangkan papan ke arah kanan menunjukkan tanda kapitalis. Arah mana yang harus saya lalui?”. Dengan santai Deng Xiaoping menjawab, “Tidak ada masalah. Berikan saja tanda lampu sein ke kiri, lalu kita berbelok ke arah kanan.”

Referensi:
- http://www.pattiradjawane.com/index.php?option=com, diakses tanggal28 Mei 2008.
-“Ekonomi China”, http://azharis.wordpress.com/2008/05/27/9, diakses 28 Mei 2008

MNCs Perlu Dijadikan Subyek Hukum Internasional

Di dalam era globalisasi ini dunia ekonomi sangat dipengaruhi oleh “global capitalism” yang dikendalikan dan dimanipulasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs). Hal ini juga turut mendorong perubahan-perubahan sosial di negara berkembang dan juga perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, yang tentunya juga mempengaruhi kecepatan transaksi dalam pasar uang dunia. Dalam situasi seperti ini dapat dibayangkan akan makin mudah berkembangnya penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh MNCs yang dapat merugikan negara. Seperti halnya kasus Lapindo yang telah memberikan gambaran bahwa MNCs di satu sisi juga dapat menyebabkan kerugian yang besar terhadap negara dan masyarakat pada umumnya.
Perusahaan-perusahaan multinasional kebanyakan berpusat di negara maju dan mempunyai anak cabang di negara berkembang yang mana menjadi tempat produksi dan menyediakan tenaga kerja yang lebih murah. Pemerintah di negara berkembang juga memberikan kelonggaran hukum atau kemudahan birokrasi dan berlomba-lomba untuk mendapatkan investasi dari MNCs itu. Hal inilah yang menjadikan MNCs seolah menjadi “raja” yang memberikan investasi bagi negara namun di sisi lain justru mengakibatkan pelanggaran-pelanggaran seperti mengesampingkan hak-hak buruh, perusakan ekosistem lingkungan dan kepedulian sosial kepada masyarakat yang buruk.
Hukum nasional yang diterapkan oleh pemerintah negara berkembang yang mengatur aktifitas MNCs tidaklah cukup untuk melindungi kepentingan warganya. Justru kebanyakan negara berkembang telah melonggarkan peraturan untuk menarik investasi yang lebih banyak lagi. Untuk itulah MNCs harus diatur dalam hukum internasional untuk mencegah adanya pelanggaran yang dilakukan. Dalam hal ini MNCs dirasa perlu untuk dijadikan sebagai legal personality dalam subyek hukum internasional. Walaupun negara pada akhirnya telah dianggap setara dengan MNCs, keduanya akan sama-sama menjalin “simbiosis mutualisme” yang menguntungkan mereka karena hak dan kewajibannya telah diatur secara jelas dalam hukum internasional.
Menurut Ian Brownlie, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Iman Prihandono, terdapat tiga syarat, dan apabila hanya satu saja yang dipenuhi akan tetap sah sebagai subyek hukum internasional. Pertama, adanya kapasitas untuk melakukan gugatan apabila terjadi pelanggaran hukum internasional. Kedua, ada kapasitas untuk menandatangani perjanjian internasional. Ketiga, adanya privilege dan imunitas dari natural jurisdiction. Hal ini berarti bahwa tidak hanya negara yang menjadi legal personality akan tetapi non state actors juga berhak menjadi subyek hukum internasional.
MNCs harus memperoleh pengakuan kedaulatan dari negara, dengan ini MNCs bisa mendapatkan posisi yang setara dengan negara dalam hukum internasional. Negara tidak perlu khawatir bila MNCs mendapatkan kedudukan seperti negara, maka MNCs akan berhak mengajukan klaim-klaim hukum melawan negara berdasarkan hukum internasional. Perlu dicatat juga bahwa dengan begitu negara juga berhak mengajukan klaim hukum melawan MNCs berdasarkan hukum internasional apabila MNCs dinilai telah melakukan pelanggaran. Negara harus berani memaksa MNCs untuk bertanggungjawab apabila terjadi pelanggaran yang ditimbulkan dari aktifitas MNCs.
Usaha yang telah dilakukan adalah membentuk Multilateral Agreement on Investment (MAI), walaupun pada akhirnya tidak disetujui. MAI adalah bentukan dari International Chambers of Commerce, sebuah asosiasi pebisnis raksasa tingkat dunia, yang akan dimasukkan dalam WTO, membuat rancangan perjanjian yang memungkinkan perusahaan swasta termasuk MNCs memperoleh status legal personality seperti halnya negara yang nantinya dapat mengadakan peundingan yang setara dengan negara. Alasan mereka tidak setuju dengan rancangan ini bahwa MNCs dapat menuntut sebuah negara jika negara mengesahkan undang-undang yang dapat mengurangi profit atau keuntungan yang diperoleh. Peraturan MAI juga mengizinkan investor asing untuk menuntut negara jika negara menyediakan dana bagi program sosial yang mereka anggap dapat menimbulkan distorsi terhadap pasar bebas. Atau apabila pemerintah ingin mengadakan privatisasi perusahaan milik negara (BUMN), maka negara tidak boleh memberikan preferensi terhadap pembeli domestik. Negara juga dilarang untuk menuntut MNCs mendahulukan kepentingan domestik, mengangkat pekerja/karyawan lokal, transfer teknologi dan sebagainya.
Namun, sebenarnya negara juga dapat melakukan seperti halnya MNCs. Negara berhak menuntut MNCs jikalau terdapat kerugian yang diakibatkan oleh aktifitas MNCs. Negara harus berani lebih terbuka dalam mengadakan perjanjian dengan MNCs. Memang bagi negara berkembang ini merupakan sebuah kerugian karena tidak dapat memproteksi warga negaranya. Akan tetapi, proteksi berlebihan itu juga tidak baik, karena mengurangi daya saing warga negaranya sehingga tidak kompetitif. Jika MNCs menjadi legal personality maka negara dapat mengajukan klaim berdasarkan hukum internasional atau dapat melakukan perundingan dengan MNCs. Hal ini juga dapat mengurangi ketergantungan dan kerugian negara berkembang terhadap MNCs.
Selain itu, dunia saat ini juga telah memiliki OECD Guidelines for Multinational Enterprise dan UN Global Impact yang berusaha mengatur aktifitas MNC sesuai prinsip-prinsip akuntabilitas perusahaan yang baik. Peraturan itu telah berusaha memberikan perlindungan maksimal pada hak asasi manusia, hak pekerja, dan lingkungan. Pedoman ini secara langsung memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk berpartisipasi langsung dalam hal yang terkait dengan perilaku MNCs melalui National Contact Point yang dibentuk di negara tersebut. Badan ini akan menentukan apakah MNCs telah mengadopsi kode etik perilaku yang ditetapkan. Hal ini juga tampak dalam UN Global Impact yang berisi sembilan prinsip dasar yang meliputi hak asasi manusia, hak pekerja dan perlindungan lingkungan.
Namun, di PBB, Pusat Perusahaan Transnasional (Centre on Transnational Corporation) telah ditutup dan Code of Conduct yang telah disiapkan PBB untuk mengatur MNCs juga tidak jelas, sementara Dewan Bisnis untuk pembangunan Berkelanjutan (Business Council for Sustainable Development) yang mengadvokasi bisnis yang berkelanjutan tidak beroperasi seperti yang diharapkan. Ini berarti bahwa walaupun Code of Conduct dapat menjadi upaya alternatif untuk mengontrol kinerja MNCs, sifat voluntary dan aturan didalamnya tidak kuat untuk memaksa MNCs yang dapat dikenai tanggung jawab hukum atas kerugian dan dampak dari aktifitasnya.
Menghadapi semua situasi diatas, tampaknya diperlukan sebuah undang-undang atau norma bersama atau juga legislasi pembangunan berkelanjutan, yang didalamnya para aktor dari MNC, Civil society organization dan pemerintah akan duduk bersama membahas konvensi internasional yang mengikat atas beberapa isu penting. Kesepakatan bersama ini akan membuka kesempatan untuk memulai sebuah proses penting yang akan meningkatkan kinerja proyek tersebut.
Dalam hal ini, kewenangan negara sangat diperlukan untuk memberikan tanggung jawab kepada MNCs. Yakni perjanjian internasional yang dianggap sebagai sumber hukum utama dalam hukum internasional. Sifat perjanjian adalah mengikat dan biasanya terdapat sanksi apabila terjadi pelanggaran serta memiliki mekanisme pelaporan kepatuhan. Banyak sekali perjanjian internasional yang berkaitan dengan aktifitas hukum MNCs, namun terkadang pembebanannya tidak secara langsung. Kewajiban untuk membuat legislasi yang efektif untuk memaksa MNCs mematuhi ketentuan dalam perjanjian internasional itu hanya dibebankan pada peserta perjanjian itu saja. Tentu saja peran ini akan terlihat setelah negara mentransformasi hukum ini ke dalam hukum nasional. Hukum nasional inilah yang dibuat oleh negara peserta konvensi agar ketentuan hukum internasional tersebut efektif mengatur aktifitas MNCs. Akan tetapi juga sebaliknya, MNCs juga dapat membuat konvensi sendiri dan memberikan kewajiban bagi negara-negara peserta konvensi untuk menjamin adanya hukum yang efektif untuk menghukum setiap terjadi pelanggaran. Meskipun ini berarti bahwa hukum internasional belum mampu secara langsung membebankan tanggung jawab kepada MNCs, cara seperti ini merupakan suatu kemajuan karena MNCs juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi hasil konvensi itu.
Sebenarnya PBB juga telah membuat aturan yang membebankan MNCs secara langsung, yakni melalui Norms on Responsibilities of Transnasional Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights. Meskipun hanya mengusung isu perlindungan hak asasi manusia, PBB telah berhasil membuat aturan yang mengikat secara langsung kepada MNCs. Akan tetapi juga sebaliknya, MNCs juga dapat mengajukan klaim hukum apabila PBB dinilai telah merugikan MNCs. ini telah menunjukkan kesetaraan antara PBB, MNCs, dan negara sebagai legal personality.
Seharusnya sebelum negara duduk bersama dalam negosiasi dengan MNCs, maka terlebih dahulu dibuat kesepakatan tentang batasan dan wewenang atau hak internasional yang dimiliki oleh MNCs. Dengan begitu negara berkembang tidak merasa dirugikan secara sepihak oleh MNCs. Diperlukan peran aktif dari elemen-elemen yang terlibat didalamnya seperti MNCs itu sendiri, konsumen, pemerintah dan lembaga pembuat kebijakan perundang-undangan, organisasi kemasyarakatan (LSM), karyawan dan eksekutif perusahaan di tempat MNCs beraktifitas. Sebuah perubahan mendasar tentang pola pikir sangat diharapkan terjadi pada elemen-elemen ini.
Pada bagian pemerintah, institusi-institusi baru yang mengawasi proses globalisasi dan tata kelola MNCs seharusnya segera dibuat. Di bagian LSM atau organisasi non pemerintah harus belajar bagaimana bermain dalam hukum internasional, sehingga dapat mengkritisi atau menekan MNCs jika berbuat melanggar aturan. Namun di sisi lain LSM juga harus dapat menjalin kerjasama dengan MNCs yang dapat melakukan perubahan secara positif. Selain itu, peran media massa juga tidak kalah pentingnya untuk menjadi perantara dan wadah komunikasi diantara elemen-elemen tersebut. Media dapat memberikan informasi tentang kegagalan yang dilakukan oleh MNCs. Media juga dapat memberikan evaluasi kinerja MNCs dan informasi tentang keberhasilan MNCs, sehingga media bermanfaat untuk mencapai hasil akhir yang konstruktif.
Hukum internasional membutuhkan dengan segera model komprehensif yang mengatur tanggung jawab sosial, baik perusahaan domestik maupun MNCs. model yang dapat dikembangkan dapat berupa sebuah simbiosis antara entitas yang bertujuan mencari keuntungan (profit oriented), nirlaba (non profit), dan pemerintah. Tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan yang profitable adalah merupakan organisasi kesejahteraan sosial yang paling efektif. MNCs telah menjadi mesin bagi penciptaan dan distribusi kesejahteraan di negara berkembang.
Penerima kesejahteraan ini tidak lain adalah pelanggan, pekerja dan juga masyarakat secara keseluruhan melalui kontribusi perusahaan pada pembayaran pajak. Pemerintah tidak dapat menciptakan kesejahteaan dan mendistribusikan pajak bagi kepentingan masyarakat jika MNCs tidak berperan penting dalam kontribusi pajak. Untuk itulah status MNCs sebagai legal personality sangat diperlukan dalam subyek hukum internasional sehingga dapat membebankan tanggung jawab sosial kepada masyarakat ditempat ia beraktifitas. Disisi lain hal ini juga dapat mengontrol perilaku negara yang cenderung overprotektif terhadap perusahaan domestiknya.
Merujuk pada kasus luapan lumpur Lapindo, bahwa telah jelas aktifitas yang berada dibawah naungan MNCs (PT. Lapindo Brantas) menimbulkan kerusakan lingkungan. Kerusakan ini menimbulkan kerugian materi yang bukan hanya dialami oleh perusahaan itu, tetapi juga masyarakat sekitar. Apabila bertanya apa yang menyebabkan kerusakan, mungkin jawabannya adalah bencana alam seperti gempa tektonik vulkanik, sehingga membebaskan kemungkinan kesalahan oleh manusia (Force Majeure). Namun jika bertanya siapakah yang menyebabkan kerusakan, maka sangat jelas PT. Lapindo Brantas lah sebagai penanggung jawab dari kerugian ini. Hal ini dapat dijadikan hikmah bahwa hukum internasional sangat diperlukan untuk mengontrol aktifitas MNCs tersebut.
Mereka harus memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang harus dipenuhi. MNCs juga harus mematuhi dan menghargai konvensi internasional seperti konvensi ILO yang mencakup hak dasar buruh dan konvensi internasional tentang lingkungan. Selain itu MNCs juga harus menghargai hukum nasional yang berlaku. Dengan demikian, kekhawatiran dari masyarakat akan kerugian akibat aktifitas MNCs dapat terkurangi karena ada peraturan yang mengikatnya. Sebaliknya, negara juga harus menghargai hak-hak yang dimiliki oleh MNCs sehingga dapat tercipta simbiosis mutualisme diantara keduanya.

Referensi :
- http://imanprihandono.files.wordpress.com/2008/09/artikel_mnc.pdf, diakses pada tanggal 30 September 2008.
- http://indonesiamasadepan.net, diakses pada tanggal 30 September 2008.

Kebijakan Luar Negari Amerika Serikat Pasca Serangan 11 September

Pada 11 September 2001, menara kembar WTC di New York diruntuhkan oleh dua pesawat yang dibajak. Tidak hanya itu, Gedung Pentagon yang menjadi simbol pertahanan AS juga terkena hantaman pesawat. Ribuan nyawa telah menjadi korban dalam tragedi itu. Seingat saya, Koran Jawa Pos memberitakan kejadian itu dengan headline “Amerika Kiamat !”. Judul itu tidak berlebihan karena pemerintah dan warga Amerika Serikat sangat terpukul atas kejadian itu disertai rasa trauma yang mendalam. Namun, siapa sangka itu bukan akhir dari kedigdayaan AS sebagai hegemon dunia. Justru tragedi itu adalah titik awal dari tata dunia baru yang menjadikan AS sebagai satu-satunya negara yang memegang kendali penuh dalam dinamika politik internasional. Beberapa jam setelah serangan itu, Gedung Putih terlihat sangat sibuk, yakni Presiden Bush beserta para staff-nya yang merencanakan strategi baru demi keamanan nasional AS setelah dihancurkan dengan hanya beberapa menit oleh sekelompok orang yang dinamai Bush sebagai teroris. Pemerintah Washington kemudian mengubah strategi kebijakan luar negeri AS. Jika semula strategi kebijakan itu berpatokan pada multilateralisme, kini strategi itu beralih menjadi preemptive strike dalam tatanan unilateralisme (Mubah 2007: viii).
Strategi ini merupakan sebuah kelanjutan dari Doktrin Bush yang mengatakan “If you are not with us, you are against us” , yang mana AS menjadi terlihat semena-mena dengan negara yang dianggap tidak mematuhinya. Memang, semenjak berakhirnya perang dingin, AS merupakan kekuatan kunci bagi ideologi liberal yang telah menghancurkan komunisme. Namun Joseph Nye mengatakan bahwa sebenarnya dunia belum pada tatanan unilateralisme dengan AS sebagai hegemon. Jika melihat dari sisi militer, AS memang masih yang terkuat. Akan tetapi dari segi ekonomi, Nye mengatakan bahwa dunia dalam bingkai multipolar dengan AS, Eropa, dan Jepang sebagai aktor utamanya (Smith 2002: 177-178). Seiring berjalannya strategi preemptive strike itu, AS telah bertindak seakan-akan menjadi polisi dunia atas segala permasalahan yang terjadi. Misalnya setelah tragedi 9/11, Bush menuding Osama bin Laden sebagai tersangka dan langsung menginvasi Afghanistan tanpa persetujuan PBB terlebih dahulu. Tindakan ini cenderung mengarah ke sebuah tata dunia yang unipolar dengan AS sebagai “sumbu” dan negara lain harus mengikutinya. Jika tidak, maka akan dianggap sebagai musuh ataupun axis of evil yang kemungkinan akan diinvasinya.
Contoh konkret adalah serangan AS ke Afghanistan dan Irak. Berbagai teoritisi dan pengamat politik internasional menyayangkan tindakan AS itu. Invasi yang dilakukan AS tdak lebih hanyalah sebagai egoisme yang tidak terkendali. Keterkaitan Irak dengan senjata pemusnah missal hingga sekarang tidak terbukti. Bahkan berbagai kalangan mengkait-kaitkan serangan itu dengan kepentingan AS memenuhi kebutuhan minyaknya. Pemerintahan Saddam yang dinilai tidak demokratis pun berhasil digulingkan.
Tindakan AS adalah sebagai penyelamatan dunia dari ancaman terorisme yang mencuat menjadi isu utama dalam politik internasional saat ini. Memang, dengan invasi ini banyak negara yang “membenci” AS dan mempunyai banyak musuh, namun yang dilakukan AS justru membawa dunia dalam kondisi yang aman dan demokratis. Menurutnya, Irak sangat membutuhkan peran AS untuk menstabilkan kondisi politik dan proses demokrasi di negeri seribu satu malam itu. Pemerintahan Saddam yang dikenal otoriter sangat bertentangan dengan keinginan masyarakat Irak, dan AS mengamini bahwa akan mendemokratisasikan Irak.
Seharusnya diplomasi itu lebih dibutuhkan daripada melalui militer, namun bukan berarti penarikan pasukan dari Irak merupakan pilihan terbaik. Justru pasukan AS di Irak masih dibutuhkan untuk kondisi politik nasional Irak yang dinilai belum stabil. Masih perlu dibutuhkan peran non-state actors untuk membantu rekonstruksi Irak. Peran itu bisa berupa pendidikan, kesehatan, dan pemulihan ekonomi di Irak. Aktor non negara itulah yang diharapkan oleh liberalis dapat menyelesaikan permasalahan ini. Individu telah menjadi yang terpenting karena mampu mendiskusikan mengenai nilai sosial bersama dan mampu bergerak secara soft dan progresif sehingga konflik kekuasaan di Irak dapat terselesaikan secara demokratis.
Michael R. Gordon dan Bernard E. Tainer dalam buku The Cobra II, The Inside Story of The Invasion and Occupation of Irak, mengatakan bahwa terdapat kesalahan dalam invasi ke Irak. Kesalahan itu adalah kegagalan memahami musuh, terlalu menyandarkan diri pada kemajuan teknologi, kegagalan untuk melakukan adaptasi dalam pertempuran, struktur militer yang tidak berfungsi, dan sebab yang terakhir adalah kebijakan AS tidak mempertimbangkan rumitnya persoalan nation-building.
Ada tiga dampak invasi Irak bagi AS sendiri. Pertama, perang itu tidak berhasil menciptakan kecemasan bagi negara yang dikategorikan oleh AS sebagai rough states. Perang itu bukannya mengirimkan pesan tentang formidable military capability dari AS, tetapi malah menyampaikan pesan kepada Iran dan Korea Utara bahwa AS tengah tenggelam dalam perang yang menghabiskan sumber dayanya. Kedua, perang itu telah menunjukkan kegagalan AS untuk menunjukkan dirinya sebagai liberating power of democratic rule. Pesan disampaikan dari perang yang tengah berlangsung itu adalah transisi menuju pemerintah demokratis terasa dipaksakan, tidak nyaman dan penuh ancaman. Ketiga, perang itu tidak menciptakan dukungan yang lebih besar dari pihak sekutu tapi malah cenderung membuat AS hampir tidak memiliki teman dalam melakukan perang itu.
Mengenai perubahan kursi kekuasaan di Pakistan, pergantian kekuasaan itu telah membawa hubungan yang lebih baik antara AS-Pakistan. Berikutnya akan membawa Pakistan dalam modernitas perekonomian dan pemerintahan yang lebih demokratis. Jika dilihat dari segi geografis, letak Pakistan sangat strategis diantara beberapa kekuatan besar baru di Asia seperti India dan China. Hal inilah yang menjadikan Pakistan harus menguatkan diri diantara ancaman negara-negara sekitar.
Selain itu, kebijakan AS mengenai konflik Israel dan Palestina. tindakan AS yang cenderung membela Israel adalah karena AS hanya ingin membantu negara demokratis yang berdaulat. Namun bukan berarti seluruh kebijakan Israel dimotori oleh AS. Ada beberapa kebijakan Israel yang tidak sesuai dengan keinginan AS namun masih tetap diterapkan Israel.
Banyak para pengamat politik luar negeri mengatakan tindakan AS itu adalah perpindahan tata dunia baru yang berada dalam tatanan unipolar. Namun keberadaan PBB sebagai pemegang kendali atas keamanan internasional masih diakui seluruh negara di dunia. Makmur Keliat menjelaskan bahwa ini merupakan transisi AS menuju multilateralisme offensif. Ciri khas dari multilateralisme offensif ini adalah menggunakan forum-forum multilateral untuk membenarkan semangat dan tindakan offensif AS. Transisi menuju multilateralisme itu sebaiknya tidak ditafsirkan bahwa pembuatan norma bersama dalam pengaturan hubungan antar negara menjadi sangat penting bagi para pembuat kebijakan AS seperti yang diimpikan kalangan liberal. Norma-norma multilateral itu hanya dipakai sejauh ia menjadi instrumental untuk membungkus tradisi realis dalam politik luar negeri negara tersebut dan sekaligus untuk tujuan mengakomodasikan tekanan-tekanan dari kalangan pemikir liberal.
Misalnya dalam forum Dewan Keamanan PBB, AS masih mempunyai pengaruh yang besar didalamnya. Walaupun negara pemegang hak veto lainnya seperti China dan Rusia yang mempunyai dinamika hubungan antar kekuatan global dengan AS mengalami kemajuan yang signifikan, AS tetap menjadi kekuatan dominan yang belum terkalahkan. Rizal Sukma, dalam artikelnya yang disampaikan pada seminar di Jakarta tanggal 30 Januari 2007, menjelaskan bahwa abad ke-21 ini adalah abad dimana bentuk dominasi AS atas dunia akan semakin nyata, serta diperkirakan tidak ada kekuatan baru yang menyainginya. China yang digadang-gadang menjadi kompetitor AS menurutnya masih membutuhkan waktu seratus tahun untuk mendekati kekuatan AS. Eropa juga tidak akan mampu menyamai AS dalam kurun waktu tersebut.
Rizal Sukma menambahkan bahwa peran negara anggota DK PBB lainnya seperti Indonesia juga harus bersikap kritis dan lebih hati-hati dalam menentukan sikap, prioritas dan preferensi dalam dinamika hubungan antara kekuatan global yang selalu berubah. Negara perlu menempatkan isu yang dihadapi dalam konteks nilai dan kepentingan politik dalam negeri. Dalam menyikapi isu-isu yang berkaitan dengan HAM dan demokrasi, hendaknya selalu mengedepankan komitmen politik dalam negeri yang sedang membangun demokrasi atau menghormati HAM. Negara juga harus menyadari bahwa sikap Indonesia terhadap isu yang menjadi agenda DK-PBB juga memiliki implikasi bagi penilaian bagi Indonesia sendiri di mata internasional.
Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa dalam dinamika politik internasional, negara yang kuat masih memegang peranan penting untuk “menahkodai” dunia seperti halnya yang dijelaskan kaum realis. Contohnya adalah sikap Amerika terhadap beberapa negara di Timur Tengah seperti Irak, Iran, dan Palestina. Namun liberalis menjawabnya, bahwa kegagalan Perang Irak diakibatkan oleh kekuasaan negara yang terlalu penuh. Seperti yang dikatakan oleh Michael R. Gordon bahwa kegagalan AS pada perang Irak karena negara tidak mempertimbangkan persoalan nation building yang begitu sangat membutuhkan peran aktor non negara didalamnya. Seperti halnya antar manusia yang nantinya akan membentuk nilai-nilai kebaikan bersama dalam menentukan masa depan Irak.

Referensi :
• Dobbins, James., “Iraq: Winning the Unwinnable War”, Foreign Affairs, vol. 84, no. 1, 2005, pp. 16-25.
• Gordon, M.R and TainerG.B.E., “The Cobra II, The Inside Story of The Invasion and Occupation of Irak”, 2006.
• Mubah, A.Safril, “Menguak Ulah Neokons”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.
• Smith, Steve, “The End of The Unipolar Moment? September 11 and the Future of World Order”, International Relations Journal, SAGE Publications, vol. 16, pp. 171-183, London, 2002.
• Artikel dari Rizal Sukma, disampaikan pada Seminar “Memaknai Peranan Indonesia Sebagai Anggota Tidak Tetap DK-PBB” Deplu-RI, Jakarta, 30 Januari 2007.
• Artikel dari Makmur Keliat, “Transisi Amerika Serikat Menuju Multilateralisme Offensif”, disampaikan pada seminar di Universitas Airlangga pada tahun 2007.
• Kuliah Tamu John B. Alterman pada tanggal 12 September 2008 di Universitas Airlangga.

Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Pasca Serangan 11 September

Pada 11 September 2001, menara kembar WTC di New York diruntuhkan oleh dua pesawat yang dibajak. Tidak hanya itu, Gedung Pentagon yang menjadi simbol pertahanan AS juga terkena hantaman pesawat. Ribuan nyawa telah menjadi korban dalam tragedi itu. Seingat saya, Koran Jawa Pos memberitakan kejadian itu dengan headline “Amerika Kiamat !”. Judul itu tidak berlebihan karena pemerintah dan warga Amerika Serikat sangat terpukul atas kejadian itu disertai rasa trauma yang mendalam. Namun, siapa sangka itu bukan akhir dari kedigdayaan AS sebagai hegemon dunia. Justru tragedi itu adalah titik awal dari tata dunia baru yang menjadikan AS sebagai satu-satunya negara yang memegang kendali penuh dalam dinamika politik internasional. Beberapa jam setelah serangan itu, Gedung Putih terlihat sangat sibuk, yakni Presiden Bush beserta para staff-nya yang merencanakan strategi baru demi keamanan nasional AS setelah dihancurkan dengan hanya beberapa menit oleh sekelompok orang yang dinamai Bush sebagai teroris. Pemerintah Washington kemudian mengubah strategi kebijakan luar negeri AS. Jika semula strategi kebijakan itu berpatokan pada multilateralisme, kini strategi itu beralih menjadi preemptive strike dalam tatanan unilateralisme (Mubah 2007: viii).
Strategi ini merupakan sebuah kelanjutan dari Doktrin Bush yang mengatakan “If you are not with us, you are against us” , yang mana AS menjadi terlihat semena-mena dengan negara yang dianggap tidak mematuhinya. Memang, semenjak berakhirnya perang dingin, AS merupakan kekuatan kunci bagi ideologi liberal yang telah menghancurkan komunisme. Namun Joseph Nye mengatakan bahwa sebenarnya dunia belum pada tatanan unilateralisme dengan AS sebagai hegemon. Jika melihat dari sisi militer, AS memang masih yang terkuat. Akan tetapi dari segi ekonomi, Nye mengatakan bahwa dunia dalam bingkai multipolar dengan AS, Eropa, dan Jepang sebagai aktor utamanya (Smith 2002: 177-178). Seiring berjalannya strategi preemptive strike itu, AS telah bertindak seakan-akan menjadi polisi dunia atas segala permasalahan yang terjadi. Misalnya setelah tragedi 9/11, Bush menuding Osama bin Laden sebagai tersangka dan langsung menginvasi Afghanistan tanpa persetujuan PBB terlebih dahulu. Tindakan ini cenderung mengarah ke sebuah tata dunia yang unipolar dengan AS sebagai “sumbu” dan negara lain harus mengikutinya. Jika tidak, maka akan dianggap sebagai musuh ataupun axis of evil yang kemungkinan akan diinvasinya.
Contoh konkret adalah serangan AS ke Afghanistan dan Irak. Berbagai teoritisi dan pengamat politik internasional menyayangkan tindakan AS itu. Invasi yang dilakukan AS tdak lebih hanyalah sebagai egoisme yang tidak terkendali. Keterkaitan Irak dengan senjata pemusnah missal hingga sekarang tidak terbukti. Bahkan berbagai kalangan mengkait-kaitkan serangan itu dengan kepentingan AS memenuhi kebutuhan minyaknya. Pemerintahan Saddam yang dinilai tidak demokratis pun berhasil digulingkan.
Tindakan AS adalah sebagai penyelamatan dunia dari ancaman terorisme yang mencuat menjadi isu utama dalam politik internasional saat ini. Memang, dengan invasi ini banyak negara yang “membenci” AS dan mempunyai banyak musuh, namun yang dilakukan AS justru membawa dunia dalam kondisi yang aman dan demokratis. Menurutnya, Irak sangat membutuhkan peran AS untuk menstabilkan kondisi politik dan proses demokrasi di negeri seribu satu malam itu. Pemerintahan Saddam yang dikenal otoriter sangat bertentangan dengan keinginan masyarakat Irak, dan AS mengamini bahwa akan mendemokratisasikan Irak.
Seharusnya diplomasi itu lebih dibutuhkan daripada melalui militer, namun bukan berarti penarikan pasukan dari Irak merupakan pilihan terbaik. Justru pasukan AS di Irak masih dibutuhkan untuk kondisi politik nasional Irak yang dinilai belum stabil. Masih perlu dibutuhkan peran non-state actors untuk membantu rekonstruksi Irak. Peran itu bisa berupa pendidikan, kesehatan, dan pemulihan ekonomi di Irak. Aktor non negara itulah yang diharapkan oleh liberalis dapat menyelesaikan permasalahan ini. Individu telah menjadi yang terpenting karena mampu mendiskusikan mengenai nilai sosial bersama dan mampu bergerak secara soft dan progresif sehingga konflik kekuasaan di Irak dapat terselesaikan secara demokratis.
Michael R. Gordon dan Bernard E. Tainer dalam buku The Cobra II, The Inside Story of The Invasion and Occupation of Irak, mengatakan bahwa terdapat kesalahan dalam invasi ke Irak. Kesalahan itu adalah kegagalan memahami musuh, terlalu menyandarkan diri pada kemajuan teknologi, kegagalan untuk melakukan adaptasi dalam pertempuran, struktur militer yang tidak berfungsi, dan sebab yang terakhir adalah kebijakan AS tidak mempertimbangkan rumitnya persoalan nation-building.
Ada tiga dampak invasi Irak bagi AS sendiri. Pertama, perang itu tidak berhasil menciptakan kecemasan bagi negara yang dikategorikan oleh AS sebagai rough states. Perang itu bukannya mengirimkan pesan tentang formidable military capability dari AS, tetapi malah menyampaikan pesan kepada Iran dan Korea Utara bahwa AS tengah tenggelam dalam perang yang menghabiskan sumber dayanya. Kedua, perang itu telah menunjukkan kegagalan AS untuk menunjukkan dirinya sebagai liberating power of democratic rule. Pesan disampaikan dari perang yang tengah berlangsung itu adalah transisi menuju pemerintah demokratis terasa dipaksakan, tidak nyaman dan penuh ancaman. Ketiga, perang itu tidak menciptakan dukungan yang lebih besar dari pihak sekutu tapi malah cenderung membuat AS hampir tidak memiliki teman dalam melakukan perang itu.
Mengenai perubahan kursi kekuasaan di Pakistan, pergantian kekuasaan itu telah membawa hubungan yang lebih baik antara AS-Pakistan. Berikutnya akan membawa Pakistan dalam modernitas perekonomian dan pemerintahan yang lebih demokratis. Jika dilihat dari segi geografis, letak Pakistan sangat strategis diantara beberapa kekuatan besar baru di Asia seperti India dan China. Hal inilah yang menjadikan Pakistan harus menguatkan diri diantara ancaman negara-negara sekitar.
Selain itu, kebijakan AS mengenai konflik Israel dan Palestina. tindakan AS yang cenderung membela Israel adalah karena AS hanya ingin membantu negara demokratis yang berdaulat. Namun bukan berarti seluruh kebijakan Israel dimotori oleh AS. Ada beberapa kebijakan Israel yang tidak sesuai dengan keinginan AS namun masih tetap diterapkan Israel.
Banyak para pengamat politik luar negeri mengatakan tindakan AS itu adalah perpindahan tata dunia baru yang berada dalam tatanan unipolar. Namun keberadaan PBB sebagai pemegang kendali atas keamanan internasional masih diakui seluruh negara di dunia. Makmur Keliat menjelaskan bahwa ini merupakan transisi AS menuju multilateralisme offensif. Ciri khas dari multilateralisme offensif ini adalah menggunakan forum-forum multilateral untuk membenarkan semangat dan tindakan offensif AS. Transisi menuju multilateralisme itu sebaiknya tidak ditafsirkan bahwa pembuatan norma bersama dalam pengaturan hubungan antar negara menjadi sangat penting bagi para pembuat kebijakan AS seperti yang diimpikan kalangan liberal. Norma-norma multilateral itu hanya dipakai sejauh ia menjadi instrumental untuk membungkus tradisi realis dalam politik luar negeri negara tersebut dan sekaligus untuk tujuan mengakomodasikan tekanan-tekanan dari kalangan pemikir liberal.
Misalnya dalam forum Dewan Keamanan PBB, AS masih mempunyai pengaruh yang besar didalamnya. Walaupun negara pemegang hak veto lainnya seperti China dan Rusia yang mempunyai dinamika hubungan antar kekuatan global dengan AS mengalami kemajuan yang signifikan, AS tetap menjadi kekuatan dominan yang belum terkalahkan. Rizal Sukma, dalam artikelnya yang disampaikan pada seminar di Jakarta tanggal 30 Januari 2007, menjelaskan bahwa abad ke-21 ini adalah abad dimana bentuk dominasi AS atas dunia akan semakin nyata, serta diperkirakan tidak ada kekuatan baru yang menyainginya. China yang digadang-gadang menjadi kompetitor AS menurutnya masih membutuhkan waktu seratus tahun untuk mendekati kekuatan AS. Eropa juga tidak akan mampu menyamai AS dalam kurun waktu tersebut.
Rizal Sukma menambahkan bahwa peran negara anggota DK PBB lainnya seperti Indonesia juga harus bersikap kritis dan lebih hati-hati dalam menentukan sikap, prioritas dan preferensi dalam dinamika hubungan antara kekuatan global yang selalu berubah. Negara perlu menempatkan isu yang dihadapi dalam konteks nilai dan kepentingan politik dalam negeri. Dalam menyikapi isu-isu yang berkaitan dengan HAM dan demokrasi, hendaknya selalu mengedepankan komitmen politik dalam negeri yang sedang membangun demokrasi atau menghormati HAM. Negara juga harus menyadari bahwa sikap Indonesia terhadap isu yang menjadi agenda DK-PBB juga memiliki implikasi bagi penilaian bagi Indonesia sendiri di mata internasional.
Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa dalam dinamika politik internasional, negara yang kuat masih memegang peranan penting untuk “menahkodai” dunia seperti halnya yang dijelaskan kaum realis. Contohnya adalah sikap Amerika terhadap beberapa negara di Timur Tengah seperti Irak, Iran, dan Palestina. Namun liberalis menjawabnya, bahwa kegagalan Perang Irak diakibatkan oleh kekuasaan negara yang terlalu penuh. Seperti yang dikatakan oleh Michael R. Gordon bahwa kegagalan AS pada perang Irak karena negara tidak mempertimbangkan persoalan nation building yang begitu sangat membutuhkan peran aktor non negara didalamnya. Seperti halnya antar manusia yang nantinya akan membentuk nilai-nilai kebaikan bersama dalam menentukan masa depan Irak.

Referensi :
• Dobbins, James., “Iraq: Winning the Unwinnable War”, Foreign Affairs, vol. 84, no. 1, 2005, pp. 16-25.
• Gordon, M.R and TainerG.B.E., “The Cobra II, The Inside Story of The Invasion and Occupation of Irak”, 2006.
• Mubah, A.Safril, “Menguak Ulah Neokons”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.
• Smith, Steve, “The End of The Unipolar Moment? September 11 and the Future of World Order”, International Relations Journal, SAGE Publications, vol. 16, pp. 171-183, London, 2002.
• Artikel dari Rizal Sukma, disampaikan pada Seminar “Memaknai Peranan Indonesia Sebagai Anggota Tidak Tetap DK-PBB” Deplu-RI, Jakarta, 30 Januari 2007.
• Artikel dari Makmur Keliat, “Transisi Amerika Serikat Menuju Multilateralisme Offensif”, disampaikan pada seminar di Universitas Airlangga pada tahun 2007.
• Kuliah Tamu John B. Alterman pada tanggal 12 September 2008 di Universitas Airlangga.

Pahlawan Indonesia di Masa Kini

Terdapat pergeseran nilai dalam memaknai definisi daripada sebuah arti kata pahlawan. Dahulu, pahlawan dikatakan sebagai seseorang yang mempunyai jiwa social responsibility dan bertindak diatas kepentingan umum. Sedangkan masa kini, nilai-nilai itu tidak lagi ditelaah oleh individu dalam masyarakat akan tetapi nilai social responsibility itu justru dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mana bersifat profit oriented. Secara perlahan, nilai pahlawan bergeser dari jiwa sosial yang muncul dari diri sendiri menjadi jiwa sosial yang seakan dipaksakan negara atau bahkan bermotif ekonomi karena ada unsur kapital didalamnya.
Adanya Corporate Social Responsibility (CSR), mengakibatkan nilai-nilai atau aspek dari kepahlawanan akan hilang. Perusahaan-perusahaan besar hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memperhatikan dampak sosial dari lingkungan masyarakat sekitar. Konsep CSR yang seakan-akan menjadi pemaksaan dari pemerintah pada perusahaan, namun perusahaan sebenarnya mendapatkan keuntungan besar dari efek timbal balik CSR tersebut.
Pemerintah terlalu memanjakan perusahaan asing daripada masyarakatnya. Tidak ada hukum yang tegas mengatur kepedulian sosial perusahaan tersebut. Pemerintah terlalu menerapkan prinsip perekonomian liberal dan meminimalisir peran negara. Bahkan untuk masalah sosial pun harus ditanggungjawabkan pada perusahaan, seharusnya CSR dibubarkan dan diganti dengan konsep pajak. Dengan demikian pemerintahlah yang mengatur pajak itu untuk didistribusikan ke masyarakat.
Namun, CSR sebenarnya juga bermotif sosial dan dampak serta akibat yang ditimbulkannya pun membawa ke arah yang positif. Contohnya adalah perusahaan yang peduli terhadap pendidikan dengan membangun sekolah-sekolah swasta. Terlepas dari apa yang didefinisikan tentang kata pahlawan yang bersifat sukarela, hal yang dilakukan CSR juga dapat dikatakan sebagai pahlawan.
Permasalahan ini, jika dilihat dari segi ekonomi politik, merupakan bukti adanya relasi antara negara dengan market. Jika dulu negara yang bertanggung jawab atas permasalahan sosial, maka era kontemporer seperti ini juga menuntut peran pihak swasta atau perusahaan untuk turut bertanggung jawab dan peduli terhadap permasalahan sosial di negara tersebut. Ini bukan merupakan kesewenang-wenangan para korporat terhadap negara akan tetapi sebagai kepedulian atau tanggung jawab perusahaan terhadap kondisi sosial.
Berhubungan dengan masalah ini, studi ekonomi politik mengenal adanya kaum dependensi yang melihat adanya hubungan ketergantungan antara negara maju (core) dengan negara lemah (pheryphery). Kerjasama yang dibangun antara negara core dan pheryphery, seperti halnya perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia menimbulkan adanya ketergantungan Indonesia terhadap investasi asing tersebut.
Teoritisi dependensi klasik seperti halnya Andre Gunder Frank dan Samir Amin melihat keterbelakangan di negara dunia ketiga diakibatkan oleh adanya hubungan dengan negara maju yang cenderung bersifat eksploitatif. Sebagai contohnya adalah perusahaan dari Amerika Serikat yang menguasai sebagian besar pertambangan di Indonesia. Solusi yang ditawarkan oleh beliau adalah pemutusan hubungan kepada negara maju tersebut. Hal ini diyakini dapat menghilangkan adanya ketergantungan dari negara berkembang ke negara maju.
Sedangkan Wallerstein mempercayai bahwa perekonomian dunia sebagai pembangunan yang tidak seimbang yang telah menghasilkan hirarki dari wilayah core, semi periphery, dan periphery. Namun bukan berarti keterbelakangan ini berdampak buruk pada kelangsungan pembangunan. Asumsi dasar dari strukturalis ini adalah bahwa negara dunia ketiga seyogyanya diharapkan mengikuti jalur pembangunan seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju, bukan seperti pandangan radikal yang menginginkan revolusi atau pemutusan hubungan dari negara maju atau kelas kapitalis.
Dalam era globalisasi ini yang mengadopsi perekonomian liberal sangat tidak mungkin untuk menerapkan kebijakan yang menimbulkan kontradiksi dan bersifat isolasi. Kaum liberal menegaskan perlunya perekonomian terbuka yang berdasarkan pada pasar, bebas dari campur tangan politik, untuk menolong menggerakkan sejumlah besar investasi yang dibutuhkan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Teoritisi strukturalis yang lebih moderat, seperti seperti Fernando Cardoso berpendapat bahwa pembangunan dalam dunia ketiga adalah mungkin sekalipun memberikan ketergantungan eksternal dengan kapitalis barat. Maksudnya adalah bahwa ketergantungan tidak selamanya berakibat negatif, justru kerjasama dengan pihak kapitalis menurutnya akan mengarah ke perekonomian yang lebih baik. Contohnya adalah kemajuan pesat perekonomian di negara dunia ketiga seperti Singapura, Korea Selatan, India dan Taiwan. Kemajuan yang diintegrasikan dengan pasar dunia ini sekalipun membawa dalam perekonomian kapitalis tetap akan membawa hasil positif bagi Indonesia. Pahlawan di era masa kini adalah pahlawan yang dapat mengintegrasikan kepentingan bangsa di kancah dunia. Seseorang yang dapat membawa Indonesia mempunyai bargaining position yang lebih dalam pergaulan internasional, namun di satu sisi harus dapat mengatasi problem sosial masyarakatnya seperti halnya yang dilakukan oleh CSR.

Referensi:


- Chilcote, Ronald. H., “The Theories of Comparative Politics”, The Search for a Paradigm, Westview Press, 1981.
- Jackson R., & Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarata, 2004.
- Caporaso. J. “Global Political Economy”, Political Science: The State of Discipline, Washington DC, 1993.
- www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2003/0603/man02.html, diakses tanggal18 Oktober 2008.

APEC : Pelopor Kebijakan Subsidi Sumber Daya Alam

Subsidi merupakan salah satu cara untuk campur tangan dalam urusan perekonomian negaranya. Adanya subsidi tersebut berguna bagi masyarakat kurang mampu agar berimplikasi pada peningkatan pola konsumsi masyarakat. Pada akhirnya menyebabkan eksploitasi yang berlebihan yang mempercepat degradasi lingkungan.. Untuk itulah diperlukan perhatian dunia akan masalah yang mengancam tersebut termasuk juga APEC sebagai sebuah forum yang sebagian besar anggotanya menerapkan subsidi pada sumber daya alam.
Subsidi dalam jumlah besar diterapkan pada sejumlah komoditas seperti pada batu bara, perikanan, agrikultur di dalam OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Dalam hal perdagangan dan lingkungan, subsidi diartikan sebagai intervensi pemerintah untuk mendistorsi pasar yang bertujuan menurunkan biaya produksi sejumlah barang atau malah meningkatkannya. Contoh kasusnya adalah pada beberapa negara penghasil batu bara. Pada negara-negara ini diterapkan proteksi impor batu bara. Tujuannya untuk melindungi harga batu bara domestik. Hal yang sama juga pernah diterapkan pada bidang perikanan dan sumber daya alam gas.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Gareth Porter, bahwa terdapat tiga pendekatan berbeda yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan aturan internasional dalam melihat pasokan subsidi sumber daya alam yaitu pendekatan perdagangan, pendekatan konservasi dan pendekatan supremasi hukum. Pendekatan lainnya adalah dengan menciptakan isu lingkungan pada perjanjian yang berkaitan. Tujuannya untuk menciptakan perjanjian ”free standing” bertujuan melindungi sumber daya alam. Pendekatan kedua adalah dengan adanya konvensi-konvensi yang bersifat konservasi pada lingkungan: Sedangkan pada pendekatan terakhir ialah dengan menciptakan soft law tentang subsidi pada sumber daya alam yang antara lain melalui United Nation Conference on Environment and Development (UNCED). Pada akhirnya UNCED memunculkan United Nation Environment Program (UNEP) yang menghasilkan sejumlah instrumen supremasi hukum.
Dalam skala yang lebih kecil, APEC diharapkan bisa mengambil alih peran UNEP. Bagaimanapun, berbicara mengenai subsidi tidak lepas dalam ruang lingkup ekonomi politik internasional, dimana masing-masing negara mempunyai otoritas politik untuk mengambil suatu kebijakan demi kesejahteraan masyarakatnya.
Ada dua teori yang mencoba membedah mengenai peran negara dalam memberikan subsidi. Pertama, liberalisme dari John M. Keynes yang mengatakan bahwa perekonomian pasar merupakan suatu keuntungan bagi setiap individu, oleh karena itu untuk memperoleh manajemen yang lebih baik seharusnya dengan bijaksana diatur oleh negara (Sorensen 2004:237). Kedua, dari kaum merkantilis yang mengatakan bahwa negara harus memelihara kepentingan nasionalnya dari keadaan dunia yang anarki sebab hal itu merupakan unsur penting dalam keamanan nasionalnya (Gilpin 1987: 32).
Dari teori diatas semuanya disebutkan bahwa negara seyogyanya memberikan proteksi terhadap rakyatnya baik dalam bentuk pemberian subsidi atau dalam bentuk lain. Namun pemberian subsidi hanya jika negara tersebut tidak berada dalam kondisi yang stabil. APEC merupakan bentuk kesepakatan bersama dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik dalam kebijakan subsidi sumber daya alam. Untuk itulah, organisasi kawasan ini mempunyai tanggung jawab dalam kestabilan ekonomi anggota-anggotanya.
Referensi:
• Jackson, R dan Sorensen, G. (2004). Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Studi.
• Gilpin, R. (1987). The Political Economy of International Relations, Princeton, NJ: Princeton University Press.
• Porter, G. Journal of Environmental & Development, Vol.6, no.3, September 1997, pp.276-291, Sage Publications, Inc.