Kamis, 08 Juli 2010

Penerapan Strategi Militer dalam Persaingan Bisnis

Abstract

Military strategy has undergone a dramatic transformation in recent years to business strategy. Every executive knows the daunting challenges of the 21st century business environment: disruptive change, fleeting opportunities, an overall sense of uncertainty and disorder. Although military commanders have long faced such challenges on the battlefield, meeting them has become more difficult in today's world of electronic weaponry, blurred battle lines, and amorphous enemies. Maneuver isn't designed to destroy an adversary. Rather, it's used to render an enemy unable to fight as an effective, coordinated whole. To apply military strategy to business we need both a fundamental understanding of both the strategy and business, and by that we mean practice.

Kata Kunci : Strategi militer, strategi bisnis, competitive advantages, transformasi.

Pendahuluan

Persaingan bisnis yang kian ketat membuat para pengambil keputusan dalam bisnis untuk mencari dan menggunakan strategi yang tepat demi meraih kesuksesan. Dalam situasi seperti ini, terdapat pebisnis yang berhasil mentransformasikan strategi militer untuk diaplikasikan dalam strategi bisnisnya. Telah banyak perusahaan-perusahaan kelas dunia yang menerapkan strategi militer dalam bisnisnya. Pola persaingan, situasi, dan tujuan yang hampir sama dengan militer ini membuat para ekonom, pebisnis, dan penstudi strategi bisnis untuk melakukan transformasi dan diterapkan dalam strategi bisnis.

Pebisnis, baik seorang manajer maupun pemilik perusahaan telah banyak mengaplikasikan strategi militer ke dalam sistem persaingan bisnis. Sekilas, hal ini sangat mustahil untuk dilakukan, banyak nilai dasar dan elemen-elemen yang berbeda pada aspek militer dan bisnis. Namun, kenyataannya pemikiran Sun Tzu dan Clausewitz menjadi terkemuka dan banyak diaplikasikan dalam dunia bisnis. Penjelasan transformasi strategi militer menuju bisnis pertama kali menjadi objek kajian studi di Harvard Business Study pada era 1970an. Salah satu teoritisinya adalah Michael Porter, yang dikenal dengan teori positioning-nya, yakni menerapkan nilai-nilai strategi militer ke dalam ranah bisnis. Beliau berhasil menguak adanya kesamaan yang terdapat pada strategi militer dan strategi militer yakni dalam filosofi manajemen, yang memuat nilai-nilai untuk membuat keputusan yang tepat dan meraih kemenangan dalam situasi persaingan.[1]

Dalam artikel ini penulis tidak menjelaskan secara rinci tentang cara-cara penerapan strategi militer menuju kesuksesan bisnis, akan tetapi memberikan pemahaman mengenai transformasi nilai dalam strategi militer yang telah banyak diterapkan dalam ranah bisnis. Rumusan masalahnya adalah bagaimana transformasi strategi militer menuju strategi bisnis. Landasan teori yang digunakan adalah penerapan pemikiran Sun Tzu dan Clausewitz serta teori positioning dari Michael Porter. Pemikiran itu sangat mendominasi pada transformasi ini, yakni tentang strategi mengalahkan musuh dalam perang. Untuk studi kasus, penulis akan membandingkan konsep strategi bisnis dengan strategi militer, yakni strategi bisnis Michael Porter dengan Sun Tzu dan strategi bisnis McD dengan Sun Tzu. Dalam setiap transformasi, tentunya terdapat nilai yang diubah. Seperti contohnya medan pertempuran, pola persaingan, instrumen yang digunakan, dan lain sebagainya. Hal inilah yang kemudian dijadikan indikator dari adanya transformasi strategi militer menuju strategi bisnis. Sebelum menjelaskan indikator tersebut, terdapat penjelasan singkat mengenai nilai-nilai yang terdapat dalam strategi militer maupun bisnis.

Strategi Militer

Strategi militer adalah susunan perencanaan untuk melancarkan sebuah peperangan, yang didalamnya termasuk penyusunan bala tentara, pelancaran operasi militer, dan siasat penipuan musuh, untuk meraih kemenangan demi kepentingan politik. Sementara taktik militer merupakan teknik dan perencanaan penyusunan unit-unit militer untuk mengalahkan lawan dalam pertempuran.[2]

Nilai yang tertinggi dalam strategi militer adalah menuju sebuah kemenangan. Kemenangan diraih dengan cara mengalahkan musuh. Dalam mengalahkan musuh harus mengetahui kekuatan dan kelemahan musuh. Sun Tzu telah mendorong munculnya kesadaran terhadap lingkungan eksternal maupun internal dalam mengalahkan lawan. Sun Tzu meyakinkan arti penting faktor fundamental dan dimensi yang akan dibandingkan untuk membangun suatu strategi yang kuat. Faktor fundamental tersebut adalah pengaruh moral, iklim, arena, kepemimpinan, dan doktrin. Sedangkan dimensi yang dimaksud adalah pengaruh moral sang penguasa, kemampuan sang jendral, keunggulan iklim dan lapangan, pelaksanaan hukum dan instruksi, jumlah kekuatan pasukan, pelatihan perwira dan prajurit, administrasi penghargaan dan hukuman.[3] Dari indikator ini jika ditransformasikan dalam dunia bisnis adalah management, manpower, machines, money, materials, methods, dan markets.

Sedangkan ahli strategi militer seperti Clausewitz mencermati bahwa terdapat pola yang relatif saklek pada diri militer di hampir semua negara, yaitu terdiri dari prajurit yang tidak termotivasi dan dipimpin oleh aristokrat. Dalam berperang mereka menggunakan kerangka kerja (framework) yang relatif sama dan taktik yang serupa pula. Oleh karenanya perbedaan antara kalah atau menang dalam suatu peperangan menjadi relatif kecil. Napoleon telah mengubah semua konsep tersebut dan menjadikan kemenangan bukan semata pada kekuatan militer, tetapi juga kekuatan intelektual. Menurut Clausewitz, dalam memastikan keberhasilan suatu strategi adalah sangat penting untuk memadukan keseluruhan organisasi dalam suatu rantai komando formal (formal chain of command) sehingga setiap perintah dapat dilaksanakan tanpa pertanyaan. Menurut Clausewitz, suatu strategi bergantung pada beberapa elemen dasar yang digunakan dalam menyerang, bertahan, dan melakukan manuver. Kombinasi atas elemen-elemen tersebut dibatasi oleh usia, teknologi dan organisasi.[4] Di dalam dunia bisnis ini berarti penggunaan keunggulan jumlah produksi, teknologi, dan sumber daya yang ada untuk meraih keuntungan.

Strategi Bisnis

Konsep dasar strategi bisnis berasal dari strategi militer untuk memenangkan perang. Dalam bisnis tujuan adalah untuk memenangkan bisnis dari persaingan, merebut pasar dan meningkatkan pertumbuhan. Jika dalam kemiliteran menaklukkan musuh, mempertahankan posisi, memperluas teritori (daerah) sebagai misi utama, dalam bisnis yang dikejar adalah mengalahkan pesaing, mempertahankan dan memperluas pangsa pasar merupakan tujuan utama.

Pada masa awal, analogi antara bisnis dan militer memang sangat berdekatan, top management perusahaan dalam menyiapkan strategi bisnis berperilaku seperti perwira tinggi militer dalam menyiapkan strategi perang. Manajer bisnis mengadopsi tingkah laku perwira militer. Untuk mempertahankan pasar, perusahaan harus “berperang”. Jika untuk operasi militer umumnya dibentuk bagian atau divisi dengan fungsinya seperti divisi personil, divisi intelijen dan perencanaan operasi, divisi operasi, divisi logistik, maka dalam organisasi bisnis dikenal adanya departemen, bagian atau divisi SDM, R&D, produksi, keuangan, logistik dan lain-lain.

Dalam kemiliteran, prosedur operasi pada umumnya telah dibakukan (standardisasi). Dalam bisnis kita mengenal SOP (Standard Operating Procedures). Demikian pula, bahasa yang dipakai dalam strategi militer juga diadopsi dalam bisnis, seperti penggunaan terminologi strategi, misi, kampanye, sales force, perang harga dll.[5]

Dinamika Pengertian Strategi Bisnis

Munculnya strategi bisnis ini tidak lain adalah karena adanya taylorisme, yang memisahkan antara decision dengan execution.[6] Pengambilan keputusan dipisah antara pemilik modal (CEO, Owner) dan functional manager. Pemilik modal bertanggung jawab atas kinerja seluruh organisasi atau bagian organisasi yang mandiri, sedangkan functional manager bertanggung jawab atas fungsi tertentu dengan wewenang melaksanakan kegiatan tertentu. Hal ini berbeda dengan strategi militer yang lebih mengutamakan dominasi jenderal dalam pengambilan keputusan. Ini berarti bahwa dalam strategi bisnis efisiensi sangat dibutuhkan daripada prudensi. Strategi bisnis tidak dalam tataran hidup dan mati seperti strategi militer, namun lebih kepada kompetisi.

Pandangan dan analogi militer mulai ditinggalkan pada dekade 1950an, karena jika kita menjual produk sebanyak mungkin tidaklah sama dengan mengalahkan lawan. Jika perang ada pemenang tunggal, dalam persaingan bisnis yang dituju adalah mengungguli pesaing yang belum tentu kalah bersaing terhadap pesaing yang lain atau dalam bisnis lain, sehingga bisa terdapat pemenang ganda (win-win). Dekade 1960an ditandai dengan strategi sebagai rencana kerja yang rumit dan disusun berdasarkan prediksi yang rinci. Gejolak tahun 1960an dengan suksesnya perusahaan Jepang, krisis ekonomi karena kenaikan harga BBM dunia tahun 1970an mendorong berkembangnya teori menajemen strategik, yakni pembagian struktur kinerja tentang pengambilan keputusan dan fungsi tertentu. Dekade 1980an muncul teori Competitive Strategy (Strategi Bersaing) Michael Porter, yang dikenal dengan Five Forces Model yang menjabarkan 5 elemen yang harus dicermati dalam melakukan analisis industri, yaitu: potensi pemain baru, pemasok, pembeli, substitut (pengganti), dan kompetitor dalam industri (biasanya segmen, pasar sasaran, dan positioning yang sama).[7] Dekade 1990an konsep Michael Porter mulai mendapat kritik karena dianggap kurang operasional. Muncul Gary Hamel dan C.K. Prahalad yang menekankan bahwa strategi bisnis harus didasarkan pada sumberdaya dan lingkungan bisnis "nanti" atau yang diantisipasi, bukan "sekarang".[8]

Transformasi dari Strategi Militer

Pudarnya nilai-nilai yang diadopsi dari strategi militer dari dekade ke dekade selanjutnya bukan berarti strategi bisnis dewasa ini menghilangkan seluruh aspek strategi militer. Di dalam sebuah transformasi terdapat beberapa aspek utama yang tidak hilang, namun hanya berubah secara epistemologi saja. Aspek utama itulah yang menjadi indikator dan bukti bahwa strategi bisnis merupakan hasil transformasi dari strategi militer. Indikator tersebut menurut penulis antara lain : arena, pola persaingan, instrumen, aktor, dan tujuan.

Tabel 1.1

Indikator

Strategi Militer

Strategi Bisnis

Arena

Medan Pertempuran

Pasar

Pola Persaingan

Pada tataran hidup-mati

Kompetisi (mengungguli pesaing)

Instrumen

Prajurit, senjata, sumber daya alam.

Karyawan, produk dagang, teknologi produksi, sumber daya alam.

Aktor

Jenderal, aristocrat.

CEO, General Manager, Manager.

Tujuan

Victory, subduing to the enemy

Unggul dalam persaingan, memperluas pangsa pasar.

Secara epistemologi, terdapat perbedaan yang mendasar antara strategi militer dengan strategi bisnis. Pada strategi militer medan pertempuran menjadi arena, sedangkan strategi bisnis pada pasar. Pola persaingan pada strategi militer berada pada tataran hidup dan mati sehingga prudensi menjadi yang utama, sedangkan strategi bisnis bersifat kompetisi bukan pertarungan yakni mengejar cara ber-efisiensi dan membuat biaya produksi seminimal mungkin. Decision dan execution pada strategi militer dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kedudukan tertinggi, sedangkan pada strategi bisnis terpisah dilakukan pemilik modal dan manajer fungsional, ini terkait dengan efisiensi tersebut. Namun, adanya pergeseran secara epistemologis tidak berarti menghilangkan indikator yang ada. Hal inilah yang disebut dengan transformasi strategi militer menuju strategi bisnis. Aspek utama masih tetap dipakai dan hanya digeser secara epistemologis untuk dapat diaplikasikan dalam ranah bisnis.

Transformasi strategi militer menuju strategi bisnis mulai menjadi objek kajian studi pada dekade 1980an melalui tokoh sentralnya, Michael Porter. Aliran ini disebut dengan teori positioning, yakni meyakini strategi perusahaan merupakan alat untuk mencapai keunggulan kompetitif (menghasilkan keuntungan di atas rata-rata) dalam persaingan industri yang sangat ketat seperti halnya pertarungan pada ranah militer.

Strategi Bisnis Michael Porter

Keunggulan strategi bisnis dari Porter adalah kemampuannya untuk mendominasi diskursus tentang manajemen strategik seperti taylorism, fordism, dll, sejak pertengahan 1970an dan mencapai puncaknya pada dekade 1980an. Porter yang memotori era ini mengintrodusir pemanfaatan pendekatan aliran desain untuk dijadikan analisis lingkungan. Ia berhasil memadukan pendekatan internal (resource-based view) dengan analisis eksternal dan menghasilkan model yang sangat terkenal, yakni competitive analysis, generic strategies, dan value chain.[9]

Competitive Analysis, menjelaskan iklim kompetisi perusahaan di tengah industrinya. Pemikiran Porter ini disebut juga sebagai Porter’s Five Forces yang menjabarkan 5 elemen yang harus dicermati dalam melakukan analisis industri, yaitu: potensi pemain baru, pemasok, pembeli, substitut (pengganti), dan kompetitor dalam industri (biasanya segmen, pasar sasaran, dan positioning yang sama).[10]

Generic Strategies, strategi generik yang diperkenalkan Porter terdiri atas kombinasi dari tiga kemungkinan strategi, yakni cost leadership, differentiation, dan focus. Strategi penekanan harga menitikberatkan pada upaya perusahaan untuk menekan ongkos produksi serendah mungkin sebagai basis persaingan. Sedangkan strategi diferensiasi menitikberatkan pada kemampuan perusahaan menghasilkan sesuatu yang unik dan berbeda dibanding kompetitornya. Sementara itu strategi fokus adalah pilihan perusahaan untuk melakukan spesialisasi pada suatu bidang tertentu sehingga pasar sasarannya relatif sempit.[11]

Value Chain, konsep ini dilandasi dengan pemikiran bahwa kemampuan perusahaan untuk meningkatkan posisi saingnya dipengaruhi oleh pemahamannya tentang proses yang terjadi dalam perusahaan itu sendiri (bandingkan dengan konsep Sun Tzu). Model ini mendiagnosa keunggulan kompetitif suatu perusahaan berdasarkan efisiensi dan efektivitas setiap tahapan proses rantai nilai yang dilaluinya. Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa setiap langkah yang diambil pada suatu segmen proses tertentu akan berdampak pada keseluruhan proses yang terjadi pada perusahaan. Oleh karenanya terdapat kondisi interdependensi saling bergantungan. Terdapat lima kelompok aktivitas utama, yakni inbound logistics, operations, outbound logistics, marketing & sales, dan service; dan terdapat empat aktivitas penunjang, yakni firm infrastructure, human resource management, technology development, dan procurement.[12]

Positioning Strategi Sun Tzu

Beberapa opini yang diutarakan oleh Michael Porter sekilas mirip dengan strategi yang pernah dijelaskan Sun Tzu. Jika disederhanakan, strategi yang dijelaskan Sun Tzu dalam buku The Art of War mengandung tiga prinsip dasar, yakni commitment, observation dan preparation.[13]

Commitment, perusahaan hendaknya tetap konsisten terhadap maksud dan tujuan perusahaan itu didirikan. Dalam ilmu manajemen modern, pegangan para eksekutif adalah Anggaran Dasar perusahaan, dimana maksud dan tujuan perusahaan dituangkan. Sun Tzu mengajarkan bahwa bila eksekutif berhasil membawa semua personil dalam organisasinya dalam komitmen pada sasaran yang sama, maka tidak ada satupun musuh dapat mengalahkannya.

Observation, Sun Tzu mengajarkan bahwa organisasi haruslah menumbuhkan kebiasaan untuk selalu melakukan pengamatan atas tindakan lawan maupun situasi, sekalipun kita tidak dalam posisi terancam. Pengamatan yang tajam atas akan menghasilkan informasi mengenai situasi yang terjadi. Sebaliknya, kita harus mampu mengaburkan pengamatan lawan atas kita. Menurut Sun Tzu setiap gerakan besar lawan, hampir selalu ditandai dengan gerakan kecil terlebih dahulu, sehingga pengamatan yang terus menerus membuat kita waspada atas setiap tanda perubahan dari lawan.

Preparation adalah strategi ketiga dari ajaran seni perang Sun Tzu. Persiapan adalah landasan yang sangat penting untuk memanfaatkan action pada saat kesempatan datang. Pemimpin tidak akan mampu untuk melakukan tindakan guna memanfaatkan kesempatan yang muncul, bila dia tidak siap. Siap dalam arti mencakup struktur organisasinya, penyederhanaan prosesnya, penempatan sumber dayanya, kelenturan organisasi dan pelatihan personil organisasi. Pada hakikatnya, pelatihan adalah persiapan untuk menyambut kesempatan yang akan muncul.

Studi Komparasi : Strategi Bisnis McD dengan Strategi Militer Sun Tzu

Untuk lebih memeperjelas adanya transformasi dari nilai-nilai yang ada pada strategi militer menuju strategi bisnis, maka penulis akan memberikan pemaparan tentang strategi bisnis salah satu perusahaan besar dunia dan mengkaitkannya dengan strategi militer. Berikut adalah strategi bisnis McD yang penulis kutip dari Majalah Marketing, Edisi 2 tahun 2008:

Merek McDonald’s tidak bisa lepas dari nama Ray Kroc, tokoh yang punya mental kuat dan strategi jitu. Dia bukan hanya terkenal sebagai raja burger, tetapi juga pebisnis real estate yang sukses. Seperti pebisnis Amerika lainnya, Kroc bukanlah seorang pencipta. Pasalnya, makanan fast food itu sudah ada sejak lama serta tersedia dalam berbagai bentuk dan rasa. Tetapi, ia punya kemampuan untuk mencerna suatu konsep pemasaran, lalu mengaplikasikan dengan cara yang jitu.

Ia adalah pebisnis pertama yang mampu menerapkan prinsip-prinsip produksi massal dalam industri jasa. Meski tidak tamat sekolah, Kroc piawai menciptakan merek yang abadi, McDonald’s. Merek ini juga bisa menjadi pelajaran bagi banyak perusahaan tentang bagaimana mengelola bisnis dan mengembangkan merek.

Awal 1940-an, Kroc menjadi distributor eksklusif untuk produk mixer. Pelanggan terbaiknya adalah McDonald bersaudara, Richard dan Maurice, yang membeli 8 mixer untuk restoran mereka. Dua bersaudara ini membangun restoran McDonald’s dengan logo "garis lengkung keemasan" yang terkenal itu dirancang oleh Richard McDonald.

Dari sinilah kisah ini berkembang. Sewaktu berkeliling dunia, Kroc sadar bahwa salah satu bisnis yang berpeluang besar untuk berkembang adalah restoran yang berbasis di California dan dimiliki oleh McDonald bersaudara tersebut. Ia juga tahu bahwa mereka menggunakan sistem lini produksi massal untuk membuat hamburger dan sandwich.

Namun, sang pemilik tidak tertarik untuk mengembangkan bisnis lebih jauh. Mereka sudah puas dengan performance saat itu. Ray Kroc yang berjiwa bisnis rupanya pantang menyerah. Ia lalu membujuk kedua bersaudara tersebut untuk menjadikannya agen eksklusif mereka. Pada tahun 1954, Kroc membuka restoran McDonald’s-nya sendiri di Des Plaines, Illinois. Langkah ini merupakan awal dari revolusi bisnis restoran fast food di dunia.

Kroc berhasil meyakinkan dua bersaudara untuk menjual perusahaan tersebut padanya. Harga yang harus dibayar Kroc adalah 2,7 juta dolar. Pembelian itu adalah hasil dari keahlian berdagangnya selama ini. Setelah mengelola McDonald’s, Kroc paham betul bahwa hasil keuntungan terbesar ternyata berasal dari daerah tempat waralaba itu didirikan. Karena itu, tahun 1956, ia mendirikan Franchise Realty Corporation, di mana ia membeli tanah lalu menyewakannya kepada orang lain.

Pada akhir 1961, Kroc telah mampu merekrut banyak franchisee. Keuntungan yang didapat perusahaan dari para franchisee ini mempermudah Kroc untuk menaikkan modalnya di pasar. Ia juga menggunakan sebagian uangnya untuk menggelar kampanye iklan yang berfokus pada maskot perusahaan yang sangat digemari anak-anak hingga saat ini, yakni Ronald McDonald.

Sebanyak 1 miliar hamburger berhasil dijual sampai tahun 1963. Dengan cerdik ia

memajang angka itu pada billboard di setiap restorannya. Pada tahun yang sama ia membangun outlet McDonald’s yang ke-500, dan dimulailah pula debut si badut Ronald McDonald itu. Ronald langsung terkenal di kalangan anak-anak. Mereka jadi sangat kritis dalam menentukan tempat makan bersama keluarga. Menurut John Mariani dalam America Eats Out, berkat ditayangkan dalam iklan TV selama enam tahun, badut Ronald McDonald dikenal oleh 96% anak-anak Amerika pada tahun 1965. Lucunya, angka ini melebihi ketenaran presiden AS.

Dalam mengembangkan usahanya, Kroc tidak pernah berkompromi terhadap kualitas. Ia sangat ketat menjaga kualitas hamburger, pelayanan, kebersihan dan manfaat yang diberikan pada pelanggan. Kualitas yang diberikan selalu nomor satu dan konsisten di tiap outletnya. Konsistensi dalam mutu ini membangun kepercayaan pasar terhadap semua makanan dan pelayanan yang disajikan oleh waralaba kelas dunia ini.

Ia juga ingin makanan bisa disajikan dalam waktu singkat, namun tetap berkualitas tinggi. Oleh sebab itu, para manajer waralaba McDonald’s wajib mengikuti pendidikan di Hamburger University yang didirikannya di Illinois; dan akan menerima gelar BA di bidang “hamburgerology”. Begitu pasar domestik sudah berhasil digarap, Kroc mengalihkan perhatiannya ke luar negeri. Sejak 1967 McDonald memperluas operasinya ke negara-negara di luar AS. Pada tahun 1994, perusahaan tersebut telah memiliki 23.000 restoran McDonald’s di 110 negara dan menghasilkan 34 miliar dolar per tahun. Uniknya, Kroc berprinsip untuk menghormati masyarakat dan budaya tempat outletnya didirikan. Supaya rantai bisnisnya lebih mudah untuk diucapkan oleh konsumen di Jepang, ia bahkan mengganti mereknya menjadi Makudonaldo. Ia pun tidak menyediakan daging babi di India dan Timur Tengah. Sementara di Irlandia ia membuat promosi yang menyatakan, “Our name maybe American, but we’re all Irish.”

Di Indonesia, restoran waralaba ini mempekerjakan karyawan lokal dan memperkenalkan menu variasi yang diadaptasi dari makanan daerah, seperti bubur ayam, ayam goreng, dan sambal. Pembauran dengan budaya masyarakat setempat, menyebabkan McDonald’s mudah mendapat hati penduduk sekitar. Akibatnya, restoran pun cepat berkembang.

Suksesnya ekspansi McDonald’s ke pasar internasional, membuat perusahaan ini

menjadi simbol dari globalisasi dan penyebaran gaya hidup Amerika. Kendati demikian, banyak debat dan opini publik mengenai isu obesitas dan diabetes yang dikaitkan dengan restoran siap saji ini. Kekayaannya (sekitar 500 juta dolar AS) ditaksir tidak berasal dari hamburger semata, tapi juga dari semua real estate sekaligus tanah di lokasi-lokasi strategis yang dimilikinya. Jumlah kekayaannya dalam bentuk properti dan tanah saja sudah sangat fenomenal. Jadi, cukup beralasan bila banyak pihak yang mengatakan bahwa Ray Kroc sebenarnya pengusaha real estate yang sukses dengan kedok restoran burger di depannya.[14]

Jika dibandingkan dengan strategi militer Sun Tzu, strategi bisnis McD juga memiliki persamaan seperti pemikiran Sun Tzu. Petuah Sun Tzu yang sangat terkenal adalah “Kenalilah musuhmu dan kenalilah dirimu, niscaya Anda akan berjaya dalam ratusan pertempuran.” Agar bisa tahu dan mengeksploitasi kelemahan lawan, butuh pemahaman mendalam tentang strategi, kapabilitas, pemikiran, dan hasrat para pemimpinnya seperti juga pengetahuan yang dalam atas kekuatan dan kelemahan diri kita sendiri. Kroc juga telah melakukan ini dengan mengetahui kelebihan restoran yang dimiliki oleh dua bersaudara tersebut, untuk itulah Kroc mengkomersialkannya dan membuka franchise ditempat strategis. Kroc juga mengenali perilaku konsumen yang berbeda di tiap-tiap negara, untuk itulah ia berhasil mengembangkan inovasi dengan membuat menu makanan lokal. Kroc bisa disebut berhasil “memenangkan perang”. Untuk mencegah pesaingnya meniru produknya, Kroc telah mematenkan McD dan merahasiakan resep kualitas produknya. Saat ini co-marketing dan co-branding populer digunakan untuk menaikan marketing relationship, pelengkap produk dan pengalaman yang lain. Menurut Sun Tzu, membangun jaringan aliansi yang kuat merupakan cara untuk membendung gerakan aktratif lawan.

Kelemahan Teori Positioning dalam Mentransformasikan Strategi Militer

Michael Porter telah sukses men-diskursus tentang manajemen strategik dan melakukan positioning strategi militer untuk diterapkan pada bisnis. Beliau mengambil teori pada strategi militer seperti halnya Sun Tzu, Clausewitz, dll untuk diaplikasikan dalam dunia bisnis. Namun, masih terdapat kelemahan dalam teori positioning itu sendiri. Henry Mintzberg, yang juga alumni Harvard Business School, melihat kelemahan teori dari Porter. Mintzberg menilai dalam aliran positioning Porter, fokus strategi menjadi “sempit”. Aliran ini mengarahkan strategi pada solusi generik dan bukan pada perspektif yang unik. Nilai strategi sebagai seni dan kreatifitas yang unik cenderung diabaikan oleh Porter. Hal ini seringkali bermuara pada kegagalan mengembangkan kreativitas, terutama dalam menghadapi berbagai ketidakpastian dunia bisnis.[15]

Fokus aliran positioning terlalu sempit sehingga hanya menekankan pada persoalan ekonomi dan data kuantitatif dibanding persoalan sosial dan politik atau bahkan data ekonomi yang bersifat kualitatif. Konteks kajian yang dipersempit, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai matriks yang ada, aliran positioning mengalami beragam bias seperti tentang bisnis besar yang secara tradisional biasanya paling tidak efektif dalam bersaing. Juga bias tentang kondisi eksternal perusahaan, terutama tentang industri dan kompetisi, yang menjadi semakin tajam akibat kebijakan internal perusahaan. Pada prosesnya, aliran ini lebih banyak melibatkan perhitungan di belakang meja dan menjauhkan analis dari lapangan. Jelas proses seperti ini bisa menjadi tidak sehat karena kurang menghargai keterlibatan emosional dalam proses pengembangan strategi perusahaan.

Kesimpulan

Teori positioning dari Porter telah menjadi bukti adanya transformasi dari strategi militer menuju strategi bisnis. Cara yang dilakukan untuk mentransformasikan strategi militer menuju bisnis adalah mencari nilai utama dari strategi militer yang dijadikan indikator, seperti arena, pola persaingan, instrumen, aktor, dan tujuan, kemudian dirubah dan diaplikasikan ke dalam strategi bisnis. Hal serupa juga dilakukan Ray Kroc dalam memperluas pangsa pasar McD, walaupun tidak sepenuhnya ia menyadari hal itu.


Referensi


Mulyadi, Ivan., “Pengusaha Burger atau Real Estate”, Majalah Marketing, vol. 2, Jakarta, 2008.

www.clausewitz.com, diakses tanggal 31 Desember 2008.

www.geocities.com, diakses tanggal 1 januari 2009.

www.harvardbusinessonline.com, diakses tanggal 31 Desember 2008.

www.harvardbusinessonline.hbsp.harvard.ed, diakses tanggal 1 Januari 2009.

www.historyofwar.org, diakses tanggal 1 Januari 2009.

www.mustamu.wordpress.com, diakses tanggal 1 Januari 2009.

www.oasis.lib.harvard.edu, diakses tanggal 1 Januari 2009.

www.sadhonohadi.com, diakses 31 Januari 2008.

www.suntzusaid.com, diakses tanggal 31 Desember 2008.

www.thinkingproblemmanagement.blogspot.com, diakses tanggal 2 Januari 2009.

www.valuebasedmanagement.net , diakses tanggal 2 Januari 2009.

www.ve-strategy-class.blogspot.com, diakses tanggal 31 Desember 2008.



[1]Penerapan nilai militer untuk bisnis oleh Michael Porter, dikutip dari www.harvardbusinessonline.com

[3] Ini merupakan salah satu pemikiran Sun Tzu yang paling dikenal yakni kenali musuhmu. www.suntzusaid.com

[4] Strategi perang Clausewitz yang tertuang dalam buku On War. www.clausewitz.com

[5] Prosedur operasi militer (SOP) standard operating procedures strategi militer diadopsi dalam bisnis. Dikutip dari thinkingproblemmanagement.blogspot.com

[6] Inti pemikiran Taylorism pernah disampaikan pada pertemuan Mata Kuliah Strategi dan Tata Kelola Strategi. ve-strategy-class.blogspot.com

[7] five force model Michael Porter, Harvard. www.harvardbusinessonline.com

[10] Isi adalah bagian dari buku karya Michael Porter Competitive Strategy: Techniques for analyzing industries and competitors, The Free Press, New York, NY, 1980. Diambil dari www.harvardbusinessonline.hbsp.harvard.ed

[12] oasis.lib.harvard.edu

[13] Rangkuman prinsip dasar dari Sun Tzu. www.sadhonohadi.com

[14] Strategi bisnis McD, resume dari majalah marketing. Mulyadi, Ivan., “Pengusaha Burger atau Real Estate”, Majalah Marketing, vol. 2, Jakarta, 2008.

Senin, 21 Juni 2010

Summary Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat

Pendahuluan
Perlu diketahui bahwa hingga saat ini sebagian pengusaha mikro dan kecil, serta masyarakat di daerah pedesaan belum mendapatkan pelayanan jasa keuangan perbankan baik melalui simpanan maupun pinjaman dana. Situasi demikian menandakan bahwa BPR memiliki posisi strategis untuk mengatasi persoalan diatas karena BPR memiliki karakteristik operasional yang spesifik yang memungkinkan BPR dapat menjangkau dan melayani UMK dan masyarakat pedesaan.
Peningkatan pesat total aset industri BPR dari tahun ke tahun mendorong Bank Indonesia untuk mengeluarkan Cetak Biru BPR ini agar perkembangan BPR tetap sejalan dengan tujuan awal BPR, yakni sebagai bank yang melayani UMK dan masyarakat pedesaan.
Sebagaimana yang dijelaskan pada Cetak Biru tersebut, keberadaan BPR telah ada sejak abad ke-19, dan pada tahun 1988 merupakan momentum awal pendirian BPR (PAKTO), kemudian kejelasan landasan hukum baru terbentuk sejak adanya UU. No. 7 tentang Perbankan tahun 1992. Ini berarti bahwa keberadaan BPR tidak lagi dipandang sebelah mata hanya sebagai lembaga keuangan biasa, namun juga berperan besar dalam memperkuat fondasi ekonomi melalui industri perbankan.

Data Kuantitatif Perkembangan Industri BPR
Jumlah BPR mengalami peningkatan, yakni dari sebelum PAKTO sebanyak 423 BPR hingga pada tahun 2001 mencapai 2.355 BPR. Namun, setelah itu mengalami penurunan hingga pada periode Juli 2006 mencapai 1.935 (Cetak Biru BPR, 2006: 7). Menurut Cetak Biru, penurunan tersebut terjadi karena sebagian BPR tidak dapat menyesuaikan kebijakan Bank Indonesia mengenai tingkat kesehatan bank dan kewajiban penyediaan modal minimum.
Walaupun terjadi penurunan jumlah BPR, jumlah kantor BPR justru meningkat. Ini menunjukkkan bahwa jangkauan pelayanan masyarakat tidak berdampak linier dengan jumlah BPR yang menyusut. Selain itu BPR memiliki daya tahan yang tangguh pada saat krisis tahun 1988.
Tren positif BPR pasca krisis ini tidak terlepas dari peran pemerintah yang memberikan peluang pendirian BPR, deregulasi perbankan yang memperbesar ruang gerak BPR dan kebutuhan masyarakat di daerah pedesaan dan daerah marjinal perkotaan terhadap pelayanan perbankan. Dari data yang disajikan pada Cetak Biru tersebut, pertumbuhan total aset, kredit dan dana pihak ketiga mengalami pertumbuhan yang signifikan dari Desember 2001 hingga Juli 2006 dan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan bank umum (Cetak Biru BPR, 2006: 8). Ini menunjukkan kemampuan BPR yang semakin meningkat dalam melayani nasabahnya serta semakin jelas eksistensinya di masyarakat.
Dari segi Loan to Deposit Ratio (LDR) sejak 2001 hingga 2006, untuk BPR tingkat LDR-nya lebih tinggi dibandingkan bank umum. Ini berarti bahwa BPR lebih mampu menyalurkan dana yang dimilikinya. Dari sisi Non Performing Loan (NPL), dan Return On Asset (RoA) BPR juga masih lebih baik dibandingkan bank umum.
Secara nasional, tingkat kesehatan BPR cukup baik yakni mencapai 82,9% dari seluruh jumlah BPR. Kemudian, BPR telah menjawab stereotype negatif tentang penyaluran kreditnya. Dari data yang ada, memang benar bahwa BPR menyalurkan kredit untuk keperluan rumah tangga, kendaraan bermotor, dan lain-lain yang diartikan tergolong dalam kredit konsumtif. Padahal kenyataannya kredit tersebut digunakan untuk produktif, seperti keperluan rumah tangga untuk berjualan, kendaraan bermotor untuk ojek, dan lain-lain.
Industri BPR juga memiliki dukungan infrastruktur untuk berperan dalam pengembangan dan kinerja BPR, antara lain Asosiasi BPR, Lembaga sertifikasi, dan Lembaga Penjamin Simpanan.

Peluang dan Tantangan
Berikut merupakan beberapa peluang yang dimiliki BPR. Pertama, keunggulan komparatif, yakni keunggulan BPR terhadap bank umum terutama mengenai prosedur pelayanan sederhana, proses yang cepat dan skim kredit yang fleksibel.BPR juga lebih mengenal kondisi customer yang mungkin tidak terjangkau oleh bank umum.
Kedua, potensi pasar yang besar, yakni sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat pedesaan yang mana menguasai 56,5% dari seluruh populasi penduduk. Jumlah tersebut adalah yang belum tersentuh oleh pelayanan perbankan dan ini merupakan peluang bagi BPR. Ketiga, potensi kerjasama keuangan dan lembaga lain, yakni melakukan linkage program dengan bank umum. Keempat, dukungan dan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan peran UMK dan masyarakat pedesaan dalam perekonomian nasional.
Sedangkan tantangan yang dihadapi BPR adalah penguatan permodalan BPR, peningkatan efisiensi BPR, masalah likuiditas dan pendanaan, persaingan usaha, peningkatan penyebaran dan jangkauan BPR dan perlindungan nasabah, namun tantangan tersebut akan dapat dilalui jika BPR memegang teguh peraturan-peraturan pemerintah.

Visi, Misi, Karakteristik BPR, serta Strategi BPR
BPR memiliki visi mewujudkan industri BPR yang sehat kuat, produktif dan dipercaya untuk melayani UMK dan masyarakat, khususnya di pedesaan guna mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Sedangkan misinya adalah menciptakan kondisi kondusif yang mendorong peningkatan kinerja dan pelayanan BPR kepada UMK dan masyarakat setempat, terutama di wilayah pedesaan.
BPR diharapkan semakin dapat meningkatkan produktifitas melalui intermediasi masyarakat mikro. Oleh karena itu BPR perlu didukung dengan kemampuan teknis mengenai sektor yang dibiayai, modal yang kuat, serta kemampuan menghimpun dana masyarakat. Bank Indonesia menjaga BPR agar tetap memiliki karakter yang spesifik yakni sebagai bank lokal yang berkantor di satu provinsi dengan kegiatan usaha terbatas, fokus kepada UMK dan masyarakat pedesaan, menyebar secara merata seluruh Indonesia, memiliki modal kuat, mendayagunakan teknologi demi pelayanan nasabah, dan diperbolehkan mengikuti sistem pembayaran tidak langsung.
Selain itu, Bank Indonesia membuat strategi penguatan dan peningkatan peran BPR dengan cara memperkuat kelembagaan, meningkatkan kualitas pengaturan, meningkatkan efektifitas sistem pengawasan, mendorong kualitas tata kelola, manajemen dan operasional yang sehat dan professional, mewujudkan infrastruktur pendukung industri BPR yang efektif dan mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan nasabah.

Program Kerja
Bank Indonesia telah menetapkan program kerja untuk BPR yang terbagi dalam 6 strategi. Strategi pertama adalah memperkuat kelembagaan. Strategi ini berisi bagaimana BPR dalam memperkuat permodalan, exit strategy, birokrasi pembukaan kantor cabang, dan mendorong linkage program dengan lembaga keuangan lainnya. Strategi kedua adalah menigkatkan kualitas pengaturan. Strategi ini berisi ketentuan tentang penyempurnaan ketentuan modal disetor, melakukan evaluasi dalam penilaian kesehatan bank, dan melakukan penelitian dalam pengembangan BPR.
Strategi ketiga adalah meningkatkan sistem pengawasan. Dalam strategi ini, hal yang diutamakan adalah berupa perbaikan dalam ranah sistem informasi dan juga peningkatan kompetensi pengawas. Strategi keempat adalah mendorong kualitas governance, manajemen dan operasional yang sehat dan profesional. Ini artinya bahwa BPR harus mengimplementasikan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan harus berusaha untuk menetapkan aturan sendiri demi kemajuan BPR tersebut.
Strategi kelima adalah mewujudkan infrastruktur pendukung BPR. Dalam hal ini, BPR harus aktif dalam forum-forum resmi maupun aktif mengikuti organisasi yang melingkupi BPR. Tujuannya adalah untuk meningkatkan profesionalisme BPR. Strategi keenam adalah mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan nasabah, hal ini bertujuan untuk maintenance nasabah dan meningkatkan kepercayaan nasabah melalui transparansi informasi produk.

Analisys & Conclusion
Berdasarkan hal yang telah dijabarkan Bank Indonesia dalam Cetak Biru BPR tersebut, dapat diketahui bahwa BPR merupakan lembaga keuangan berbentuk bank yang mempunyai posisi strategis dalam melayani masyarakat pedesaan yang mayoritas terkategori pada sektor mikro. Selain itu, seperti yang dijelaskan pada Bab II, BPR memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan Bank Umum. Ini menandakan bahwa sektor mikro merupakan prospek strategis dalam mengembangkan industri perbankan. Ditambah lagi, pemerintah telah menunjukkan keseriusan dalam mengembangkan BPR melalui Cetak Biru ini. Regulasi pemerintah memang sangat dibutuhkan untuk melindungi eksistensi BPR.
Perlu diketahui bahwa hingga saat ini sebagian pengusaha mikro dan kecil, serta masyarakat di daerah pedesaan belum mendapatkan pelayanan jasa keuangan perbankan baik melalui simpanan maupun pinjaman dana. Pemerintah berharap BPR dapat meng-cover mereka dengan segala pelayanan terbaiknya. Hal ini merupakan peluang emas bagi Bank Andara untuk merangkul semua BPR demi mewujudkan misi sosialnya.
Oleh karena itu, linkage program bersama BPR lebih efektif ketimbang memberikan pelayanan (retail) terhadap masyarakat miskin. Dengan demikian dapat meningkatkan efektifitas kinerja Bank Andara dan meningkatkan perekonomian di sektor mikro melalui pemantauan terhadap BPR tersebut.

Jumat, 11 Desember 2009

Post-Fordism : Era Menuju Informational Economy

Manuel Castells mempercayai adanya revolusi atau perubahan dramatis dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi. Perubahan ruang aktifitas mayoritas manusia di dunia dari ruang konvensional menuju ruang komunikasi virtual menjadi argumen penguatnya bahwa revolusi invormasi telah melahirkan kapitalisme informasi. Berangkat dari ideologi post-Marxist, Manuel Castells berusaha menggambarkan perubahan tersebut dari pemikiran Marx tentang capitalist mode of production dan “memodifikasi” menjadi informational mode of development dengan tetap membawa tiga aspek pokok, yakni market economy, production for profit, dan private ownership.

Masyarakat informasi sebagai hasil revolusi masyarakat industri menghasilkan perubahan strata yang beliau sebut sebagai kapitalisme tanpa kelas. Revolusi informasi menurut Castells, menyebabkan perubahan pola dari integrasi vertikal ke horisontal. Semua pelaku ekonomi dapat menjadi owner maupun buruh informasi yang melakukan berbagai peran ekonomi sekligus seperti produksi informasi, distribusi informasi, perencanaan, operasionalisasi serta konsumsi informasi. Namun, apa yang digambarkan oleh Castells dianggap sesuatu yang utopis oleh sebagian kalangan. Daniel Bell mengatakan bahwa Castells terlalu terburu-buru berargumen telah terjadi perubahan partikular pada sistem sosial, ini hanyalah perubahan etika kultural yang disebabkan oleh teknik dan teknologi produksi.

Jika apa yang dicita-citakan Castells mengenai informational capitalism belum sepenuhnya terjadi, maka era perubahan ini oleh Frank Webster dinamakan sebagai era post-Fordism. Berbeda dengan pemikiran Castells yang mengedepankan perubahan hubungan sosial antar manusia, Frank Webster lebih menitikberatkan pada adanya transisi dari fordisme menuju pos-fordisme dan kontinuitas dari mode of production bukan pada dampak perubahannya. Ini merupakan sebuah pendekatan yang berbeda dari Castells dalam menjelaskan informasi ekonomi karena pijakan awal argumen dari Frank Webster adalah Keynesian, bukan post-marxis seperti halnya Castells dan Daniel Bell.

Rezim Fordist (1945-1973)

Keynesian mempercayai adanya interkoneksi antara ekuilibrium produksi dan konsumsi dengan intervensi dari pemerintah. Harmoni ekonomi akan terjadi jika ada keseimbangan diantaranya. Sedangkan Ford merupakan pelopor teknik produksi masal yang berdampak pada keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Era fordist-keynesian mempunyai beberapa elemen kunci sebagai berikut:

1. Produksi masal adalah keunggulan bagi perekonomian. Menurutnya, semakin banyak jumlah produksi akan lebih banyak meraih keuntungan (dengan metode yang efektif a la Ford). Dengan mencontohkan pertumbuhan ekonomi Inggris karena kemajuan industri manufakturnya di tahun 1960-an yang banyak menyerap tenaga kerja.

2. Kelompok yang paling dominan pada saat itu adalah pekerja-pekerja industri. Masih terdapat disintegrasi vertikal antara manajemen dengan pekerja-pekerja industri tersebut.

3. Konsumsi berbanding lurus dengan jumlah produksi. Fase konsumsi merupakan kelanjutan dari hasil produksi.

4. Terdapat oligopoli oleh negara-negara yang mempunyai sektor ekonomi yang dominan seperti elektronik, fashion, ritel, dan mesin.

5. Legitimasi atau persetujuan pemerintah menjadi dominan dalam menentukan kebijakan ekonomi seperti pembatasan kuota, embargo dan subsidi komoditi produksi.

Era fordism tidak bertahan lama sejak adanya krisis ekonomi yang diakibatkan intervensi pemerintah pada tahun 1970-1973. Faktor utama yang menyebabkan runtuhnya era fordism dan munculnya era post-fordism adalah adanya globalisasi. Globalisasi sendiri digerakkan dan di konstruksi oleh korporasi transnasional. Jenis globalisasi meliputi globalisasi pasar, globalisasi produksi, globalisasi finansial dan globalisasi komunikasi.

Rezim Post-Fordist (era teknologi informasi)

Post-fordism muncul sebagai jalan baru yang berpedoman pada pengendalian informasi. Post-fordism juga memiliki beberapa pernyataan yang berbeda dengan fordism:

1. Sistem manajemen tidak hanya disintegrasi vertikal antara manajer dengan buruh, namun juga terdapat hubungan horisontal karena beberapa perusahaan mempunyai franchise dan kerjasama produksi di luar negara. Ini tidak seperti yang dikatakan Castells bahwa terjadi perubahan manajemen dari vertikal menuju horisontal.

2. Salah satu komponen esensial dari globalisasi ekonomi adalah pengendalian sektor finansial global dengan adanya kemajuan teknologi informasi.

3. Proses produksi dan konsumsi berjalan efektif dan efisien. Tidak lagi diperlukan ruang komunikasi konvensional karena semua proses produksi, distribusi dan selera konsumen dapat dikontrol dari tempat manajer berada melalui sistem otomasi dan komputerisasi.

4. Akses informasi lebih dominan daripada memfokuskan diri pada produksi masal. Terdapat perubahan dari produksi dan konsumsi masal menjadi produksi dan konsumsi yang fleksibel sesuai permintaan pasar. Karena tidak lagi berfokus pada produksi masal, maka akan mengakibatkan spesialisasi yang fleksibel dibandingkan era fordism.

Kemajuan teknologi informasi juga berakibat negatif pada jumlah tenaga kerja. Para pemilik korporasi transnasional akan dengan mudah memindahkan lapangan produksi di berbagai negara, dan akan dapat menambah jumlah pengangguran pada negara yang ditinggalkannya.

Kesimpulan

Frank Webster berpendapat berbeda dengan Manuel Castells dalam menjelaskan perubahan sistem informasi pada sektor perekonomian. Menurutnya, Castells terburu-buru menyatakan bahwa perubahan partikular sistem sosial menjadi yang utama akibat revolusi informasi. Frank menyebutkan bahwa perubahan kultur kegiatan ekonomi terjadi karena kemajuan teknologi produksi dan informasi. Melalui analisa Fordist-keynesian, menurutnya teknik produksi mengalami perubahan dan berdampak pada kultur masyarakat. Pernyataan akhir Frank juga berbeda dengan Castells, jika dalam fenomena tersebut Castells menyebutkan terjadi revolusi dan siklus baru terhadap masyarakat (atau apa yang ia sebut dengan information capitalism / new information society), Frank menyebutkan ini tak ubahnya hanya fase setelah era fordism atau yang ia sebut dengan post-fordism dan belum berevolusi pada siklus baru seperti yang dimimpikan Castells.

DAFTAR PUSTAKA

  • Bell, Daniel, 1976, The Cultural Contradictions of Capitalism, Hennemian.
  • Castells, Manuel, 1989, The Informational City: Information Technology, Economic Restructuring and The Urban-Regional Process, Oxford: Blackwell.
  • Webster, Frank, 1995, Theories of the Information Society, London: Routledge publisher.