Selasa, 24 Maret 2009

Polemik Kontribusi AFTA bagi kemajuan ASEAN

Pada tahun 1992, ASEAN mendirikan AFTA untuk meningkatkan intensitas perdagangan di dalam kawasan. Pada akhirnya diarahkan untuk membuat kawasan Asia Tenggara semakin menarik investor asing. Dengan kemajuan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN dapat meningkatkan daya saing perdagangannya di pasar internasional. Kebijakan yang diinginkan adalah bekerjasama memperbaiki kuantitas produk perdagangan dan mengurangi pajak impor untuk produk yang diperdagangkan. Namun, banyak negara yang belum siap menghadapi perdagangan bebas dengan mengurangi pajaknya, seperti Kamboja, Laos, dan Vietnam.
Timbul kesan bahwa pembentukan AFTA hanya karena reaksi ASEAN atas percepatan implementasi perdagangan bebas di tingkat global, ditandai oleh pembentukan WTO. AFTA juga dibentuk untuk meniru blok-blok kerjasama di kawasan lain seperti NAFTA dan European Economic Community di Eropa (Cuyvers 2005: 9). Adanya AFTA cenderung merupakan pragmatisme daripada suatu kerjasama yang komprehensif. Ini menjadikan nuansa politis sering lebih banyak berperan dibandingkan interaksi ekonominya. Pembentukan AEC merupakan tindak lanjut dari AFTA. Situasi krisis pada 1997 mendorong ASEAN untuk segera menstabilkan perekonomiannya. Caranya dengan mewujudkan konsep "single market", perbaikan aturan perdagangan, investasi, dan sumber daya manusia. AEC juga menentukan prioritas sektor perdagangan yang merupakan awal dari perdagangan bebas di kawasan ini.
Namun, lagi-lagi integrasi diantara anggotanya belum mencapai suatu tingkat dimana satu sama lain merupakan partner ekonomi yang penting. Ada beberapa kendala yang dianggap mengganggu kelancaran proses kemajuan ekonomi ASEAN. Pertama, adanya peningkatan kerjasama ekonomi secara bilateral oleh negara anggota dengan negara diluar anggota, seperti pembentukan Free Trade Area bilateral antara Singapura dengan Selandia Baru. Kedua, pemerintah sebuah negara yang melihat integrasi ekonomi sebagai keuntungan politis cenderung ingin mempercepat proses integrasi lebih cepat dari jalur yang alami. Contohnya keinginan Singapura untuk mempercepat jadwal pengurangan tarif, sementara Kamboja menyatakan belum siap. Maka muncul keinginan dari negara untuk memperlambat proses liberalisasi perdagangan. Ketiga, belum efektifnya forum regional dalam penyelesaian masalah yang melibatkan anggotanya, seperti masalah pencurian pasir di Indonesia oleh pengusaha Singapura.
Kini, banyak pihak yang mulai mempertanyakan relevansi AFTA dalam memberikan makna bagi peran ASEAN. Organisasi kawasan ini tengah mengalami krisis eksistensi. Keberadaan lembaga-lembaga yang dibentuk dinilai kurang memberikan kontribusi bagi kemajuan ekonomi ASEAN itu sendiri. Usaha perluasan kerjasama dengan negara di luar anggota seperti ASEAN plus Three, kerjasama dengan Amerika Serikat maupun Australia dianggap belum menunjukkan perkembangan nyata. Masalah baru justru timbul dengan adanya kerjasama dengan kawasan lain. Misalnya muncul adanya hegemon dalam regional ini jika melakukan hubungan dengan regional lain. Fakta bahwa dalam ASEAN plus Three, kekuatan ekonomi ASEAN tidak sebanding dengan Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Negara-negara maju ini cenderung lebih agresif ketimbang ASEAN. Seharusnya ASEAN sebagai kelompok untuk mengambil peran sebagai pemimpin, namun realitasnya para pemimpin ASEAN justru terkesan pasif dalam kesepakatan perdagangan. Inilah hal yang dikhawatirkan akan menjadi penghambat kemajuan dan kegagalan kerjasama regional ini.
Dalam hal keamanan internalnya, ASEAN juga belum tergolong mampu menyelesaikan konflik yang terjadi. Misalnya pada sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Indonesia dengan Malaysia, penyelesaiannya justru dilakukan oleh Mahkamah Internasional. Filipina juga hampir pernah memutuskan hubungan diplomatik dengan Singapura karena persoalan hukuman mati TKW Filipina oleh Singapura. Ketidakjelasan kesepakatan pemberian tarif masing-masing negara anggota juga diyakini dapat menghambat perdagangan bebas di kawasan ini karena tidak seragam dalam penerapannya di berbagai negara dan dianggap pragmatis dalam mengambil kebijakan ekonomi.

Kesimpulan
Terlepas dari semua itu, keinginan ASEAN untuk melakukan perluasan kerjasama dengan kawasan lain telah menunjukkan kemauan untuk memajukan perekonomian regional ini. Meskipun secara teoritis masih dapat diperdebatkan, regionalisasi ekonomi dipercaya sebagai sebuah langkah untuk menghadapi liberalisasi ditingkat global. Tujuan besar yang harus dilaksanakan ASEAN agar dapat mengintegrasikan dan memantapkan kerjasama regional dengan baik adalah menghilangkan kesan politis dalam kesepakatan kerjasama. Meski kemampuan ekonomi negara-negara anggota tidak sama, hal ini dapat diatasi dengan pengaturan tarif atau pajak impor yang berbeda antaranegara maju dengan negara miskin. Dengan ini kesenjangan ekonomi yang ada bisa segera terselesaikan.
Satu hal lagi yang harus dilakukan ASEAN untuk menghindari dominasi politik dalam kerjasama adalah dengan lebih mengintensifkan kerjasama di bidang budaya. Banyak negara-negara anggota ASEAN yang memiliki kesamaan budaya. Melalui pendekatan ini diharapkan mampu memberikan kerjasama yang efektif karena budaya bukan sekedar memberikan unsur kesenian dalam pelaksanaannya tetapi juga cara hidup dan cara berhubungan antar manusia dan masyarakat lain.



Referensi:
• Cuyvers, L. From AFTA towards an ASEAN economic community, no. 46, Januari 2005, Centre for ASEAN Studies, Belgia.
• Ekonomi ASEAN ”, http://azharis.wordpress.com/2008/06/5/9, diakses 5 Juni 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar