Kamis, 26 Maret 2009

Elite Politik di Indonesia


Kondisi ekonomi, politik, dan sosial di Indonesia yang sedang pada titik rendah ini mengundang banyak komentar dari berbagai pengamat dan para ahli, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya masalah yang menimpa bangsa ini. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah perubahan diberbagai aspek kehidupan manusia seperti bidang ekonomi, sosial dan politik.
Dalam hal ekonomi, terdapat kesenjangan pendapatan yang nantinya juga mempengaruhi pada perilaku sosial masyarakat Indonesia. Seperti halnya yang dikatakan oleh Marx, bahwa perekonomian adalah tempat eksploitasi dan perbedaan antar kelas sosial, khususnya kaum borjuis dan proletar. Politik, sebagian besar ditentukan oleh konteks sosial ekonomi (R. Jackson 2004; 243). Kelas ekonomi yang dominan juga dominan secara politik.
Hal ini berarti bahwa dalam perekonomian kapitalis, kaum borjuis akan menjadi kelas yang berkuasa. Contohnya adalah pada pemerintahan Indonesia saat ini yang cenderung mendukung perekonomian liberal. Pemerintah sangat apresiatif dengan adanya arus modal asing yang masuk, misalnya persetujuan eksploitasi minyak di Blok Cepu, Tambang Timah oleh Freeport, PT. Lapindo dan seterusnya. Banyaknya korporasi yang menguasai faktor produksi di Indonesia menjadikan mereka sebagai raksasa ekonomi yang juga dapat mengatur ekonomi Indonesia, karena banyaknya arus perputaran uang yang berasal dari kegiatan ekonomi korporasi tersebut. Pemerintah, dengan sisi idealisnya menganggap bahwa modal asing ini berguna bagi pembangunan negara. Namun, pembangunan kapitalis global yang ada justru bersifat tidak seimbang bahkan menghasilkan krisis dan kontradiksi, baik negara maupun antar kelas sosial. Pertarungan antar kelas dan negara yang telah memberikan kebangkitan di seluruh dunia, dan bagaimana transformasi yang revolusioner dari dunia tersebut mungkin akan muncul.
Untuk memahami teori kelas ini, Chilcote menjelaskan dengan beberapa mahzab yakni pluralisme, instrumentalisme, strukturalisme, kritikalisme, dan statisme (Chilcote 1981; 348). Dilihat dari kacamata pluralisme, Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kelompok kepentingan dan demokrasi, hal ini dapat dilihat dari partisipan partai politik yang ada, akan tetapi tidak menjamin membawa kebaikan pada kepentingan masyarakat umum daripada elite. Demikian pula dengan instrumentalisme, bahwa negara Indonesia bukanlah dikendalikan oleh kepentingan kapitalis seperti halnya yang dijelaskan oleh Marx. Pemerintah masih berada dalam tataran netral dalam mengambil setiap kebijakan. Hal ini berkaitan dengan apa yang dikatakan kaum statisme, yakni setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara berdampak pada kelangsungan kelas-kelas yang ada. Lain halnya kaum kritikal yang berfokus pada metodologi dan kritik-kritiknya yang rekonstruktif.
Pemikiran yang tepat dalam menganalisis sistem elite di Indonesia adalah dengan menggunakan pendekatan strukturalisme, terutama mengadopsi sistem dunia dari Wallerstein. Beliau mempercayai bahwa perekonomian dunia sebagai pembangunan yang tidak seimbang yang telah menghasilkan hirarki dari wilayah core, semi periphery, dan periphery. Namun bukan berarti keterbelakangan ini berdampak buruk pada kelangsungan pembangunan. Asumsi dasar dari strukturalis ini adalah bahwa negara dunia ketiga seyogyanya diharapkan mengikuti jalur pembangunan seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju, bukan seperti pandangan radikal yang menginginkan revolusi atau pemutusan hubungan dari negara maju atau kelas kapitalis.
Dalam era globalisasi ini yang mengadopsi perekonomian liberal sangat tidak mungkin untuk menerapkan kebijakan yang menimbulkan kontradiksi dan bersifat isolasi. Kaum liberal menegaskan perlunya perekonomian terbuka yang berdasarkan pada pasar , bebas dari campur tangan politik, untuk menolong menggerakkan sejumlah besar investasi yang dibutuhkan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Teoritisi strukturalis yang lebih moderat, seperti seperti Fernando Cardoso berpendapat bahwa pembangunan dalam dunia ketiga adalah mungkin sekalipun memberikan ketergantungan eksternal dengan kapitalis barat (R. Jacson 2004; 260). Maksudnya adalah bahwa ketergantungan tidak selamanya berakibat negatif, justru kerjasama dengan pihak kapitalis menurutnya akan mengarah ke perekonomian yang lebih baik. Contohnya adalah kemajuan pesat perekonomian di negara dunia ketiga seperti Singapura, Korea Selatan, India dan Taiwan. Kemajuan yang diintegrasikan dengan pasar dunia ini sekalipun membawa dalam perekonomian kapitalis tetap akan membawa hasil positif bagi Indonesia. Menurut saya, strukturalis ini secara riil dapat menjelaskan kondisi Indonesia dibandingkan mahzab idealis lain yang terlalu pesimis memandang hasil dari perekonomian kapitalis.

Referensi:

- Chilcote, Ronald. H., “The Theories of Comparative Politics”, The Search for a Paradigm, Westview Press, 1981.
- Jackson R., & Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarata, 2004.
- Caporaso. J. “Global Political Economy”, Political Science: The State of Discipline, Washington DC, 1993.
- www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2003/0603/man02.html, diakses tanggal18 Oktober 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar