Selasa, 24 Maret 2009

Kebijakan Luar Negari Amerika Serikat Pasca Serangan 11 September

Pada 11 September 2001, menara kembar WTC di New York diruntuhkan oleh dua pesawat yang dibajak. Tidak hanya itu, Gedung Pentagon yang menjadi simbol pertahanan AS juga terkena hantaman pesawat. Ribuan nyawa telah menjadi korban dalam tragedi itu. Seingat saya, Koran Jawa Pos memberitakan kejadian itu dengan headline “Amerika Kiamat !”. Judul itu tidak berlebihan karena pemerintah dan warga Amerika Serikat sangat terpukul atas kejadian itu disertai rasa trauma yang mendalam. Namun, siapa sangka itu bukan akhir dari kedigdayaan AS sebagai hegemon dunia. Justru tragedi itu adalah titik awal dari tata dunia baru yang menjadikan AS sebagai satu-satunya negara yang memegang kendali penuh dalam dinamika politik internasional. Beberapa jam setelah serangan itu, Gedung Putih terlihat sangat sibuk, yakni Presiden Bush beserta para staff-nya yang merencanakan strategi baru demi keamanan nasional AS setelah dihancurkan dengan hanya beberapa menit oleh sekelompok orang yang dinamai Bush sebagai teroris. Pemerintah Washington kemudian mengubah strategi kebijakan luar negeri AS. Jika semula strategi kebijakan itu berpatokan pada multilateralisme, kini strategi itu beralih menjadi preemptive strike dalam tatanan unilateralisme (Mubah 2007: viii).
Strategi ini merupakan sebuah kelanjutan dari Doktrin Bush yang mengatakan “If you are not with us, you are against us” , yang mana AS menjadi terlihat semena-mena dengan negara yang dianggap tidak mematuhinya. Memang, semenjak berakhirnya perang dingin, AS merupakan kekuatan kunci bagi ideologi liberal yang telah menghancurkan komunisme. Namun Joseph Nye mengatakan bahwa sebenarnya dunia belum pada tatanan unilateralisme dengan AS sebagai hegemon. Jika melihat dari sisi militer, AS memang masih yang terkuat. Akan tetapi dari segi ekonomi, Nye mengatakan bahwa dunia dalam bingkai multipolar dengan AS, Eropa, dan Jepang sebagai aktor utamanya (Smith 2002: 177-178). Seiring berjalannya strategi preemptive strike itu, AS telah bertindak seakan-akan menjadi polisi dunia atas segala permasalahan yang terjadi. Misalnya setelah tragedi 9/11, Bush menuding Osama bin Laden sebagai tersangka dan langsung menginvasi Afghanistan tanpa persetujuan PBB terlebih dahulu. Tindakan ini cenderung mengarah ke sebuah tata dunia yang unipolar dengan AS sebagai “sumbu” dan negara lain harus mengikutinya. Jika tidak, maka akan dianggap sebagai musuh ataupun axis of evil yang kemungkinan akan diinvasinya.
Contoh konkret adalah serangan AS ke Afghanistan dan Irak. Berbagai teoritisi dan pengamat politik internasional menyayangkan tindakan AS itu. Invasi yang dilakukan AS tdak lebih hanyalah sebagai egoisme yang tidak terkendali. Keterkaitan Irak dengan senjata pemusnah missal hingga sekarang tidak terbukti. Bahkan berbagai kalangan mengkait-kaitkan serangan itu dengan kepentingan AS memenuhi kebutuhan minyaknya. Pemerintahan Saddam yang dinilai tidak demokratis pun berhasil digulingkan.
Tindakan AS adalah sebagai penyelamatan dunia dari ancaman terorisme yang mencuat menjadi isu utama dalam politik internasional saat ini. Memang, dengan invasi ini banyak negara yang “membenci” AS dan mempunyai banyak musuh, namun yang dilakukan AS justru membawa dunia dalam kondisi yang aman dan demokratis. Menurutnya, Irak sangat membutuhkan peran AS untuk menstabilkan kondisi politik dan proses demokrasi di negeri seribu satu malam itu. Pemerintahan Saddam yang dikenal otoriter sangat bertentangan dengan keinginan masyarakat Irak, dan AS mengamini bahwa akan mendemokratisasikan Irak.
Seharusnya diplomasi itu lebih dibutuhkan daripada melalui militer, namun bukan berarti penarikan pasukan dari Irak merupakan pilihan terbaik. Justru pasukan AS di Irak masih dibutuhkan untuk kondisi politik nasional Irak yang dinilai belum stabil. Masih perlu dibutuhkan peran non-state actors untuk membantu rekonstruksi Irak. Peran itu bisa berupa pendidikan, kesehatan, dan pemulihan ekonomi di Irak. Aktor non negara itulah yang diharapkan oleh liberalis dapat menyelesaikan permasalahan ini. Individu telah menjadi yang terpenting karena mampu mendiskusikan mengenai nilai sosial bersama dan mampu bergerak secara soft dan progresif sehingga konflik kekuasaan di Irak dapat terselesaikan secara demokratis.
Michael R. Gordon dan Bernard E. Tainer dalam buku The Cobra II, The Inside Story of The Invasion and Occupation of Irak, mengatakan bahwa terdapat kesalahan dalam invasi ke Irak. Kesalahan itu adalah kegagalan memahami musuh, terlalu menyandarkan diri pada kemajuan teknologi, kegagalan untuk melakukan adaptasi dalam pertempuran, struktur militer yang tidak berfungsi, dan sebab yang terakhir adalah kebijakan AS tidak mempertimbangkan rumitnya persoalan nation-building.
Ada tiga dampak invasi Irak bagi AS sendiri. Pertama, perang itu tidak berhasil menciptakan kecemasan bagi negara yang dikategorikan oleh AS sebagai rough states. Perang itu bukannya mengirimkan pesan tentang formidable military capability dari AS, tetapi malah menyampaikan pesan kepada Iran dan Korea Utara bahwa AS tengah tenggelam dalam perang yang menghabiskan sumber dayanya. Kedua, perang itu telah menunjukkan kegagalan AS untuk menunjukkan dirinya sebagai liberating power of democratic rule. Pesan disampaikan dari perang yang tengah berlangsung itu adalah transisi menuju pemerintah demokratis terasa dipaksakan, tidak nyaman dan penuh ancaman. Ketiga, perang itu tidak menciptakan dukungan yang lebih besar dari pihak sekutu tapi malah cenderung membuat AS hampir tidak memiliki teman dalam melakukan perang itu.
Mengenai perubahan kursi kekuasaan di Pakistan, pergantian kekuasaan itu telah membawa hubungan yang lebih baik antara AS-Pakistan. Berikutnya akan membawa Pakistan dalam modernitas perekonomian dan pemerintahan yang lebih demokratis. Jika dilihat dari segi geografis, letak Pakistan sangat strategis diantara beberapa kekuatan besar baru di Asia seperti India dan China. Hal inilah yang menjadikan Pakistan harus menguatkan diri diantara ancaman negara-negara sekitar.
Selain itu, kebijakan AS mengenai konflik Israel dan Palestina. tindakan AS yang cenderung membela Israel adalah karena AS hanya ingin membantu negara demokratis yang berdaulat. Namun bukan berarti seluruh kebijakan Israel dimotori oleh AS. Ada beberapa kebijakan Israel yang tidak sesuai dengan keinginan AS namun masih tetap diterapkan Israel.
Banyak para pengamat politik luar negeri mengatakan tindakan AS itu adalah perpindahan tata dunia baru yang berada dalam tatanan unipolar. Namun keberadaan PBB sebagai pemegang kendali atas keamanan internasional masih diakui seluruh negara di dunia. Makmur Keliat menjelaskan bahwa ini merupakan transisi AS menuju multilateralisme offensif. Ciri khas dari multilateralisme offensif ini adalah menggunakan forum-forum multilateral untuk membenarkan semangat dan tindakan offensif AS. Transisi menuju multilateralisme itu sebaiknya tidak ditafsirkan bahwa pembuatan norma bersama dalam pengaturan hubungan antar negara menjadi sangat penting bagi para pembuat kebijakan AS seperti yang diimpikan kalangan liberal. Norma-norma multilateral itu hanya dipakai sejauh ia menjadi instrumental untuk membungkus tradisi realis dalam politik luar negeri negara tersebut dan sekaligus untuk tujuan mengakomodasikan tekanan-tekanan dari kalangan pemikir liberal.
Misalnya dalam forum Dewan Keamanan PBB, AS masih mempunyai pengaruh yang besar didalamnya. Walaupun negara pemegang hak veto lainnya seperti China dan Rusia yang mempunyai dinamika hubungan antar kekuatan global dengan AS mengalami kemajuan yang signifikan, AS tetap menjadi kekuatan dominan yang belum terkalahkan. Rizal Sukma, dalam artikelnya yang disampaikan pada seminar di Jakarta tanggal 30 Januari 2007, menjelaskan bahwa abad ke-21 ini adalah abad dimana bentuk dominasi AS atas dunia akan semakin nyata, serta diperkirakan tidak ada kekuatan baru yang menyainginya. China yang digadang-gadang menjadi kompetitor AS menurutnya masih membutuhkan waktu seratus tahun untuk mendekati kekuatan AS. Eropa juga tidak akan mampu menyamai AS dalam kurun waktu tersebut.
Rizal Sukma menambahkan bahwa peran negara anggota DK PBB lainnya seperti Indonesia juga harus bersikap kritis dan lebih hati-hati dalam menentukan sikap, prioritas dan preferensi dalam dinamika hubungan antara kekuatan global yang selalu berubah. Negara perlu menempatkan isu yang dihadapi dalam konteks nilai dan kepentingan politik dalam negeri. Dalam menyikapi isu-isu yang berkaitan dengan HAM dan demokrasi, hendaknya selalu mengedepankan komitmen politik dalam negeri yang sedang membangun demokrasi atau menghormati HAM. Negara juga harus menyadari bahwa sikap Indonesia terhadap isu yang menjadi agenda DK-PBB juga memiliki implikasi bagi penilaian bagi Indonesia sendiri di mata internasional.
Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa dalam dinamika politik internasional, negara yang kuat masih memegang peranan penting untuk “menahkodai” dunia seperti halnya yang dijelaskan kaum realis. Contohnya adalah sikap Amerika terhadap beberapa negara di Timur Tengah seperti Irak, Iran, dan Palestina. Namun liberalis menjawabnya, bahwa kegagalan Perang Irak diakibatkan oleh kekuasaan negara yang terlalu penuh. Seperti yang dikatakan oleh Michael R. Gordon bahwa kegagalan AS pada perang Irak karena negara tidak mempertimbangkan persoalan nation building yang begitu sangat membutuhkan peran aktor non negara didalamnya. Seperti halnya antar manusia yang nantinya akan membentuk nilai-nilai kebaikan bersama dalam menentukan masa depan Irak.

Referensi :
• Dobbins, James., “Iraq: Winning the Unwinnable War”, Foreign Affairs, vol. 84, no. 1, 2005, pp. 16-25.
• Gordon, M.R and TainerG.B.E., “The Cobra II, The Inside Story of The Invasion and Occupation of Irak”, 2006.
• Mubah, A.Safril, “Menguak Ulah Neokons”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.
• Smith, Steve, “The End of The Unipolar Moment? September 11 and the Future of World Order”, International Relations Journal, SAGE Publications, vol. 16, pp. 171-183, London, 2002.
• Artikel dari Rizal Sukma, disampaikan pada Seminar “Memaknai Peranan Indonesia Sebagai Anggota Tidak Tetap DK-PBB” Deplu-RI, Jakarta, 30 Januari 2007.
• Artikel dari Makmur Keliat, “Transisi Amerika Serikat Menuju Multilateralisme Offensif”, disampaikan pada seminar di Universitas Airlangga pada tahun 2007.
• Kuliah Tamu John B. Alterman pada tanggal 12 September 2008 di Universitas Airlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar