Selasa, 24 Maret 2009

MNCs Perlu Dijadikan Subyek Hukum Internasional

Di dalam era globalisasi ini dunia ekonomi sangat dipengaruhi oleh “global capitalism” yang dikendalikan dan dimanipulasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs). Hal ini juga turut mendorong perubahan-perubahan sosial di negara berkembang dan juga perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, yang tentunya juga mempengaruhi kecepatan transaksi dalam pasar uang dunia. Dalam situasi seperti ini dapat dibayangkan akan makin mudah berkembangnya penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh MNCs yang dapat merugikan negara. Seperti halnya kasus Lapindo yang telah memberikan gambaran bahwa MNCs di satu sisi juga dapat menyebabkan kerugian yang besar terhadap negara dan masyarakat pada umumnya.
Perusahaan-perusahaan multinasional kebanyakan berpusat di negara maju dan mempunyai anak cabang di negara berkembang yang mana menjadi tempat produksi dan menyediakan tenaga kerja yang lebih murah. Pemerintah di negara berkembang juga memberikan kelonggaran hukum atau kemudahan birokrasi dan berlomba-lomba untuk mendapatkan investasi dari MNCs itu. Hal inilah yang menjadikan MNCs seolah menjadi “raja” yang memberikan investasi bagi negara namun di sisi lain justru mengakibatkan pelanggaran-pelanggaran seperti mengesampingkan hak-hak buruh, perusakan ekosistem lingkungan dan kepedulian sosial kepada masyarakat yang buruk.
Hukum nasional yang diterapkan oleh pemerintah negara berkembang yang mengatur aktifitas MNCs tidaklah cukup untuk melindungi kepentingan warganya. Justru kebanyakan negara berkembang telah melonggarkan peraturan untuk menarik investasi yang lebih banyak lagi. Untuk itulah MNCs harus diatur dalam hukum internasional untuk mencegah adanya pelanggaran yang dilakukan. Dalam hal ini MNCs dirasa perlu untuk dijadikan sebagai legal personality dalam subyek hukum internasional. Walaupun negara pada akhirnya telah dianggap setara dengan MNCs, keduanya akan sama-sama menjalin “simbiosis mutualisme” yang menguntungkan mereka karena hak dan kewajibannya telah diatur secara jelas dalam hukum internasional.
Menurut Ian Brownlie, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Iman Prihandono, terdapat tiga syarat, dan apabila hanya satu saja yang dipenuhi akan tetap sah sebagai subyek hukum internasional. Pertama, adanya kapasitas untuk melakukan gugatan apabila terjadi pelanggaran hukum internasional. Kedua, ada kapasitas untuk menandatangani perjanjian internasional. Ketiga, adanya privilege dan imunitas dari natural jurisdiction. Hal ini berarti bahwa tidak hanya negara yang menjadi legal personality akan tetapi non state actors juga berhak menjadi subyek hukum internasional.
MNCs harus memperoleh pengakuan kedaulatan dari negara, dengan ini MNCs bisa mendapatkan posisi yang setara dengan negara dalam hukum internasional. Negara tidak perlu khawatir bila MNCs mendapatkan kedudukan seperti negara, maka MNCs akan berhak mengajukan klaim-klaim hukum melawan negara berdasarkan hukum internasional. Perlu dicatat juga bahwa dengan begitu negara juga berhak mengajukan klaim hukum melawan MNCs berdasarkan hukum internasional apabila MNCs dinilai telah melakukan pelanggaran. Negara harus berani memaksa MNCs untuk bertanggungjawab apabila terjadi pelanggaran yang ditimbulkan dari aktifitas MNCs.
Usaha yang telah dilakukan adalah membentuk Multilateral Agreement on Investment (MAI), walaupun pada akhirnya tidak disetujui. MAI adalah bentukan dari International Chambers of Commerce, sebuah asosiasi pebisnis raksasa tingkat dunia, yang akan dimasukkan dalam WTO, membuat rancangan perjanjian yang memungkinkan perusahaan swasta termasuk MNCs memperoleh status legal personality seperti halnya negara yang nantinya dapat mengadakan peundingan yang setara dengan negara. Alasan mereka tidak setuju dengan rancangan ini bahwa MNCs dapat menuntut sebuah negara jika negara mengesahkan undang-undang yang dapat mengurangi profit atau keuntungan yang diperoleh. Peraturan MAI juga mengizinkan investor asing untuk menuntut negara jika negara menyediakan dana bagi program sosial yang mereka anggap dapat menimbulkan distorsi terhadap pasar bebas. Atau apabila pemerintah ingin mengadakan privatisasi perusahaan milik negara (BUMN), maka negara tidak boleh memberikan preferensi terhadap pembeli domestik. Negara juga dilarang untuk menuntut MNCs mendahulukan kepentingan domestik, mengangkat pekerja/karyawan lokal, transfer teknologi dan sebagainya.
Namun, sebenarnya negara juga dapat melakukan seperti halnya MNCs. Negara berhak menuntut MNCs jikalau terdapat kerugian yang diakibatkan oleh aktifitas MNCs. Negara harus berani lebih terbuka dalam mengadakan perjanjian dengan MNCs. Memang bagi negara berkembang ini merupakan sebuah kerugian karena tidak dapat memproteksi warga negaranya. Akan tetapi, proteksi berlebihan itu juga tidak baik, karena mengurangi daya saing warga negaranya sehingga tidak kompetitif. Jika MNCs menjadi legal personality maka negara dapat mengajukan klaim berdasarkan hukum internasional atau dapat melakukan perundingan dengan MNCs. Hal ini juga dapat mengurangi ketergantungan dan kerugian negara berkembang terhadap MNCs.
Selain itu, dunia saat ini juga telah memiliki OECD Guidelines for Multinational Enterprise dan UN Global Impact yang berusaha mengatur aktifitas MNC sesuai prinsip-prinsip akuntabilitas perusahaan yang baik. Peraturan itu telah berusaha memberikan perlindungan maksimal pada hak asasi manusia, hak pekerja, dan lingkungan. Pedoman ini secara langsung memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk berpartisipasi langsung dalam hal yang terkait dengan perilaku MNCs melalui National Contact Point yang dibentuk di negara tersebut. Badan ini akan menentukan apakah MNCs telah mengadopsi kode etik perilaku yang ditetapkan. Hal ini juga tampak dalam UN Global Impact yang berisi sembilan prinsip dasar yang meliputi hak asasi manusia, hak pekerja dan perlindungan lingkungan.
Namun, di PBB, Pusat Perusahaan Transnasional (Centre on Transnational Corporation) telah ditutup dan Code of Conduct yang telah disiapkan PBB untuk mengatur MNCs juga tidak jelas, sementara Dewan Bisnis untuk pembangunan Berkelanjutan (Business Council for Sustainable Development) yang mengadvokasi bisnis yang berkelanjutan tidak beroperasi seperti yang diharapkan. Ini berarti bahwa walaupun Code of Conduct dapat menjadi upaya alternatif untuk mengontrol kinerja MNCs, sifat voluntary dan aturan didalamnya tidak kuat untuk memaksa MNCs yang dapat dikenai tanggung jawab hukum atas kerugian dan dampak dari aktifitasnya.
Menghadapi semua situasi diatas, tampaknya diperlukan sebuah undang-undang atau norma bersama atau juga legislasi pembangunan berkelanjutan, yang didalamnya para aktor dari MNC, Civil society organization dan pemerintah akan duduk bersama membahas konvensi internasional yang mengikat atas beberapa isu penting. Kesepakatan bersama ini akan membuka kesempatan untuk memulai sebuah proses penting yang akan meningkatkan kinerja proyek tersebut.
Dalam hal ini, kewenangan negara sangat diperlukan untuk memberikan tanggung jawab kepada MNCs. Yakni perjanjian internasional yang dianggap sebagai sumber hukum utama dalam hukum internasional. Sifat perjanjian adalah mengikat dan biasanya terdapat sanksi apabila terjadi pelanggaran serta memiliki mekanisme pelaporan kepatuhan. Banyak sekali perjanjian internasional yang berkaitan dengan aktifitas hukum MNCs, namun terkadang pembebanannya tidak secara langsung. Kewajiban untuk membuat legislasi yang efektif untuk memaksa MNCs mematuhi ketentuan dalam perjanjian internasional itu hanya dibebankan pada peserta perjanjian itu saja. Tentu saja peran ini akan terlihat setelah negara mentransformasi hukum ini ke dalam hukum nasional. Hukum nasional inilah yang dibuat oleh negara peserta konvensi agar ketentuan hukum internasional tersebut efektif mengatur aktifitas MNCs. Akan tetapi juga sebaliknya, MNCs juga dapat membuat konvensi sendiri dan memberikan kewajiban bagi negara-negara peserta konvensi untuk menjamin adanya hukum yang efektif untuk menghukum setiap terjadi pelanggaran. Meskipun ini berarti bahwa hukum internasional belum mampu secara langsung membebankan tanggung jawab kepada MNCs, cara seperti ini merupakan suatu kemajuan karena MNCs juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi hasil konvensi itu.
Sebenarnya PBB juga telah membuat aturan yang membebankan MNCs secara langsung, yakni melalui Norms on Responsibilities of Transnasional Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights. Meskipun hanya mengusung isu perlindungan hak asasi manusia, PBB telah berhasil membuat aturan yang mengikat secara langsung kepada MNCs. Akan tetapi juga sebaliknya, MNCs juga dapat mengajukan klaim hukum apabila PBB dinilai telah merugikan MNCs. ini telah menunjukkan kesetaraan antara PBB, MNCs, dan negara sebagai legal personality.
Seharusnya sebelum negara duduk bersama dalam negosiasi dengan MNCs, maka terlebih dahulu dibuat kesepakatan tentang batasan dan wewenang atau hak internasional yang dimiliki oleh MNCs. Dengan begitu negara berkembang tidak merasa dirugikan secara sepihak oleh MNCs. Diperlukan peran aktif dari elemen-elemen yang terlibat didalamnya seperti MNCs itu sendiri, konsumen, pemerintah dan lembaga pembuat kebijakan perundang-undangan, organisasi kemasyarakatan (LSM), karyawan dan eksekutif perusahaan di tempat MNCs beraktifitas. Sebuah perubahan mendasar tentang pola pikir sangat diharapkan terjadi pada elemen-elemen ini.
Pada bagian pemerintah, institusi-institusi baru yang mengawasi proses globalisasi dan tata kelola MNCs seharusnya segera dibuat. Di bagian LSM atau organisasi non pemerintah harus belajar bagaimana bermain dalam hukum internasional, sehingga dapat mengkritisi atau menekan MNCs jika berbuat melanggar aturan. Namun di sisi lain LSM juga harus dapat menjalin kerjasama dengan MNCs yang dapat melakukan perubahan secara positif. Selain itu, peran media massa juga tidak kalah pentingnya untuk menjadi perantara dan wadah komunikasi diantara elemen-elemen tersebut. Media dapat memberikan informasi tentang kegagalan yang dilakukan oleh MNCs. Media juga dapat memberikan evaluasi kinerja MNCs dan informasi tentang keberhasilan MNCs, sehingga media bermanfaat untuk mencapai hasil akhir yang konstruktif.
Hukum internasional membutuhkan dengan segera model komprehensif yang mengatur tanggung jawab sosial, baik perusahaan domestik maupun MNCs. model yang dapat dikembangkan dapat berupa sebuah simbiosis antara entitas yang bertujuan mencari keuntungan (profit oriented), nirlaba (non profit), dan pemerintah. Tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan yang profitable adalah merupakan organisasi kesejahteraan sosial yang paling efektif. MNCs telah menjadi mesin bagi penciptaan dan distribusi kesejahteraan di negara berkembang.
Penerima kesejahteraan ini tidak lain adalah pelanggan, pekerja dan juga masyarakat secara keseluruhan melalui kontribusi perusahaan pada pembayaran pajak. Pemerintah tidak dapat menciptakan kesejahteaan dan mendistribusikan pajak bagi kepentingan masyarakat jika MNCs tidak berperan penting dalam kontribusi pajak. Untuk itulah status MNCs sebagai legal personality sangat diperlukan dalam subyek hukum internasional sehingga dapat membebankan tanggung jawab sosial kepada masyarakat ditempat ia beraktifitas. Disisi lain hal ini juga dapat mengontrol perilaku negara yang cenderung overprotektif terhadap perusahaan domestiknya.
Merujuk pada kasus luapan lumpur Lapindo, bahwa telah jelas aktifitas yang berada dibawah naungan MNCs (PT. Lapindo Brantas) menimbulkan kerusakan lingkungan. Kerusakan ini menimbulkan kerugian materi yang bukan hanya dialami oleh perusahaan itu, tetapi juga masyarakat sekitar. Apabila bertanya apa yang menyebabkan kerusakan, mungkin jawabannya adalah bencana alam seperti gempa tektonik vulkanik, sehingga membebaskan kemungkinan kesalahan oleh manusia (Force Majeure). Namun jika bertanya siapakah yang menyebabkan kerusakan, maka sangat jelas PT. Lapindo Brantas lah sebagai penanggung jawab dari kerugian ini. Hal ini dapat dijadikan hikmah bahwa hukum internasional sangat diperlukan untuk mengontrol aktifitas MNCs tersebut.
Mereka harus memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang harus dipenuhi. MNCs juga harus mematuhi dan menghargai konvensi internasional seperti konvensi ILO yang mencakup hak dasar buruh dan konvensi internasional tentang lingkungan. Selain itu MNCs juga harus menghargai hukum nasional yang berlaku. Dengan demikian, kekhawatiran dari masyarakat akan kerugian akibat aktifitas MNCs dapat terkurangi karena ada peraturan yang mengikatnya. Sebaliknya, negara juga harus menghargai hak-hak yang dimiliki oleh MNCs sehingga dapat tercipta simbiosis mutualisme diantara keduanya.

Referensi :
- http://imanprihandono.files.wordpress.com/2008/09/artikel_mnc.pdf, diakses pada tanggal 30 September 2008.
- http://indonesiamasadepan.net, diakses pada tanggal 30 September 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar