Jumat, 11 Desember 2009

Post-Fordism : Era Menuju Informational Economy

Manuel Castells mempercayai adanya revolusi atau perubahan dramatis dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi. Perubahan ruang aktifitas mayoritas manusia di dunia dari ruang konvensional menuju ruang komunikasi virtual menjadi argumen penguatnya bahwa revolusi invormasi telah melahirkan kapitalisme informasi. Berangkat dari ideologi post-Marxist, Manuel Castells berusaha menggambarkan perubahan tersebut dari pemikiran Marx tentang capitalist mode of production dan “memodifikasi” menjadi informational mode of development dengan tetap membawa tiga aspek pokok, yakni market economy, production for profit, dan private ownership.

Masyarakat informasi sebagai hasil revolusi masyarakat industri menghasilkan perubahan strata yang beliau sebut sebagai kapitalisme tanpa kelas. Revolusi informasi menurut Castells, menyebabkan perubahan pola dari integrasi vertikal ke horisontal. Semua pelaku ekonomi dapat menjadi owner maupun buruh informasi yang melakukan berbagai peran ekonomi sekligus seperti produksi informasi, distribusi informasi, perencanaan, operasionalisasi serta konsumsi informasi. Namun, apa yang digambarkan oleh Castells dianggap sesuatu yang utopis oleh sebagian kalangan. Daniel Bell mengatakan bahwa Castells terlalu terburu-buru berargumen telah terjadi perubahan partikular pada sistem sosial, ini hanyalah perubahan etika kultural yang disebabkan oleh teknik dan teknologi produksi.

Jika apa yang dicita-citakan Castells mengenai informational capitalism belum sepenuhnya terjadi, maka era perubahan ini oleh Frank Webster dinamakan sebagai era post-Fordism. Berbeda dengan pemikiran Castells yang mengedepankan perubahan hubungan sosial antar manusia, Frank Webster lebih menitikberatkan pada adanya transisi dari fordisme menuju pos-fordisme dan kontinuitas dari mode of production bukan pada dampak perubahannya. Ini merupakan sebuah pendekatan yang berbeda dari Castells dalam menjelaskan informasi ekonomi karena pijakan awal argumen dari Frank Webster adalah Keynesian, bukan post-marxis seperti halnya Castells dan Daniel Bell.

Rezim Fordist (1945-1973)

Keynesian mempercayai adanya interkoneksi antara ekuilibrium produksi dan konsumsi dengan intervensi dari pemerintah. Harmoni ekonomi akan terjadi jika ada keseimbangan diantaranya. Sedangkan Ford merupakan pelopor teknik produksi masal yang berdampak pada keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Era fordist-keynesian mempunyai beberapa elemen kunci sebagai berikut:

1. Produksi masal adalah keunggulan bagi perekonomian. Menurutnya, semakin banyak jumlah produksi akan lebih banyak meraih keuntungan (dengan metode yang efektif a la Ford). Dengan mencontohkan pertumbuhan ekonomi Inggris karena kemajuan industri manufakturnya di tahun 1960-an yang banyak menyerap tenaga kerja.

2. Kelompok yang paling dominan pada saat itu adalah pekerja-pekerja industri. Masih terdapat disintegrasi vertikal antara manajemen dengan pekerja-pekerja industri tersebut.

3. Konsumsi berbanding lurus dengan jumlah produksi. Fase konsumsi merupakan kelanjutan dari hasil produksi.

4. Terdapat oligopoli oleh negara-negara yang mempunyai sektor ekonomi yang dominan seperti elektronik, fashion, ritel, dan mesin.

5. Legitimasi atau persetujuan pemerintah menjadi dominan dalam menentukan kebijakan ekonomi seperti pembatasan kuota, embargo dan subsidi komoditi produksi.

Era fordism tidak bertahan lama sejak adanya krisis ekonomi yang diakibatkan intervensi pemerintah pada tahun 1970-1973. Faktor utama yang menyebabkan runtuhnya era fordism dan munculnya era post-fordism adalah adanya globalisasi. Globalisasi sendiri digerakkan dan di konstruksi oleh korporasi transnasional. Jenis globalisasi meliputi globalisasi pasar, globalisasi produksi, globalisasi finansial dan globalisasi komunikasi.

Rezim Post-Fordist (era teknologi informasi)

Post-fordism muncul sebagai jalan baru yang berpedoman pada pengendalian informasi. Post-fordism juga memiliki beberapa pernyataan yang berbeda dengan fordism:

1. Sistem manajemen tidak hanya disintegrasi vertikal antara manajer dengan buruh, namun juga terdapat hubungan horisontal karena beberapa perusahaan mempunyai franchise dan kerjasama produksi di luar negara. Ini tidak seperti yang dikatakan Castells bahwa terjadi perubahan manajemen dari vertikal menuju horisontal.

2. Salah satu komponen esensial dari globalisasi ekonomi adalah pengendalian sektor finansial global dengan adanya kemajuan teknologi informasi.

3. Proses produksi dan konsumsi berjalan efektif dan efisien. Tidak lagi diperlukan ruang komunikasi konvensional karena semua proses produksi, distribusi dan selera konsumen dapat dikontrol dari tempat manajer berada melalui sistem otomasi dan komputerisasi.

4. Akses informasi lebih dominan daripada memfokuskan diri pada produksi masal. Terdapat perubahan dari produksi dan konsumsi masal menjadi produksi dan konsumsi yang fleksibel sesuai permintaan pasar. Karena tidak lagi berfokus pada produksi masal, maka akan mengakibatkan spesialisasi yang fleksibel dibandingkan era fordism.

Kemajuan teknologi informasi juga berakibat negatif pada jumlah tenaga kerja. Para pemilik korporasi transnasional akan dengan mudah memindahkan lapangan produksi di berbagai negara, dan akan dapat menambah jumlah pengangguran pada negara yang ditinggalkannya.

Kesimpulan

Frank Webster berpendapat berbeda dengan Manuel Castells dalam menjelaskan perubahan sistem informasi pada sektor perekonomian. Menurutnya, Castells terburu-buru menyatakan bahwa perubahan partikular sistem sosial menjadi yang utama akibat revolusi informasi. Frank menyebutkan bahwa perubahan kultur kegiatan ekonomi terjadi karena kemajuan teknologi produksi dan informasi. Melalui analisa Fordist-keynesian, menurutnya teknik produksi mengalami perubahan dan berdampak pada kultur masyarakat. Pernyataan akhir Frank juga berbeda dengan Castells, jika dalam fenomena tersebut Castells menyebutkan terjadi revolusi dan siklus baru terhadap masyarakat (atau apa yang ia sebut dengan information capitalism / new information society), Frank menyebutkan ini tak ubahnya hanya fase setelah era fordism atau yang ia sebut dengan post-fordism dan belum berevolusi pada siklus baru seperti yang dimimpikan Castells.

DAFTAR PUSTAKA

  • Bell, Daniel, 1976, The Cultural Contradictions of Capitalism, Hennemian.
  • Castells, Manuel, 1989, The Informational City: Information Technology, Economic Restructuring and The Urban-Regional Process, Oxford: Blackwell.
  • Webster, Frank, 1995, Theories of the Information Society, London: Routledge publisher.

Revolusi Informasi : Kontradiksi Kultural Kapitalisme

Kaum evolusionis seperti halnya Manuel Castells, Barry Welman, dan lain lain, dengan mudah mengatakan bahwa telah terjadi perubahan pada masyarakat dari masyarakat pra-industri menuju industri kemudian berlanjut pada masyarakat informasi. Sebagai contoh, Britania Raya menguasai dunia pada abad ke-18 karena memiliki kekuasaan pada lahan pertanian yang subur di beberapa negara, kaum evolusionis menyebutnya revolusi agraria. Kedua, saat Britania Raya menguasai perekonomian dunia pada abad ke-19 karena ditemukannya mesin-mesin teknologi industri, kaum evolusionis menyebutnya revolusi industri. Ketiga, ketika para pemilik modal di Eropa Barat, Amerika Serikat dan Jepang mulai berlomba-lomba menemukan selera pasar dan berusaha menjaga reputasi brand yang dimiliki, kaum evolusionis menyebutnya dengan revolusi informasi.
Daniel Bell, yang menolak pandangan kaum evolusionis, mengatakan bahwa revolusi yang terjadi pada masyarakat tidak terlepas dari interkoneksi antara kultural, politik, dan struktur sosial yang ada. Menurutnya, beberapa revolusi yang terjadi seperti yang dikatakan kaum evolusionis, belum menyentuh perubahan pada struktur sosial yang ada. Perubahan yang terjadi lebih banyak pada aspek etika kultural semata. Pada masyarakat pra-industri, menjadi buruh tani merupakan suatu pekerjaan mulia. Sedangkan pada masyarakat industri, bekerja di pabrik menjadi suatu norma. Maka pada masyarakat pos-industrial, aspek pelayanan menjadi dominan. Daniel Bell lantas mengatakan: “Jika demikian, apa yang terjadi pada abad ke-19 tentang runtuhnya dominasi gereja oleh kaum protestan juga layak disebut revolusi pengetahuan!”. Daniel Bell yang banyak mengadopsi pemikiran Marx meyakini bahwa masih terdapat dominasi kelompok sosial tertentu dalam struktur sosial yang ada.
Keyakinan kaum evolusionis tentang adanya revolusi informasi tidak menyentuh aspek mendasar dari revolusi yang sebenarnya, yakni masyarakat itu sendiri. Perubahan yang terjadi pada efisiensi kerja atau pada sistem otomasi. Transisi dari masyarakat agraris menuju industri kemudian menuju informasi menunjukkan adanya kemajuan sistem otomasi yang terjadi, dengan ditemukan teknologi yang semakin canggih. Akan tetapi, komoditi tetap menjadi kontrol para kapitalis dan belum merubah struktur sosial masyarakat.
Douglass Kellner, dalam analisis Marxian-nya, memberikan pernyataan krusial bahwa memang telah terjadi perubahan pada masyarakat, beberapa diantaranya memang positif, namun bukan revolusi (perubahan mendasar) seperti yang diimajinasikan kaum evolusionis, terbukti bahwa kapitalisme tetap menjadi aktor utama di dalamnya. Pengetahuan menjadi berubah secara dramatis dalam kapitalisme kontemporer. Kemunculan “techno-capitalism” telah memberikan gambaran bahwa teknologi baru, elektronisasi maupun komputerisasi telah menggantikan mesin industri maupun mekanisasi sebagai aktor utama dalam proses produksi, organisasi masyarakat, dan gaya hidup. Akan tetapi kelas, kapital, komodifikasi, maupun profit tetap tidak terjadi perubahan fundamental sebagai aspek utama.
Masyarakat informasi tidak dapat terlepas olah power, control dan interest. Kapitalis tetap menjadi yang diuntungkan. Sebagai contoh, pemirsa televisi, penikmat berita, maupun pembaca blog, akan senantiasa terpengaruh oleh informasi yang diberikan pemilik “perusahaan informasi tersebut”. Jean Baudrillard mengatakan bahwa kebenaran informasi yang sebenarnya bisa tereduksi oleh kepentingan tertentu yang mengubah nilai moral dari informasi awal. Perubahan ruang aktifitas dari konvensional menjadi virtual tidak serta merta mengubah aspek fundamental dari struktur sosial masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa selama ini belum terjadi revolusi informasi pada struktur sosial masyarakat. Perubahan hanya terjadi pada aspek etika kultural dan sistem otomasi yang semakin canggih. Pada dasarnya, struktur sosial yang ada pada masyarakat informasi tetap menjadi kontrol para kapitalis sebagai produsen informasi. Tak ayal bahwa dalam “fashionable language” kaum evolusionis (revolusi informasi), hanyalah sebagai kontradiksi kultural kapitalis semata.


DAFTAR PUSTAKA

  • Kellner, Douglas, 1989, Critical Theory, Marxism and Modernity, Cambridge: Polity.

  • Ross, George, 1974, The Second Coming of Daniel Bell, Milliband and Saville.

  • Webster, Frank, 1995, Theories of the Information Society, London: Routledge publisher.


The Rise of Branding : Imbas Kemajuan Media Informasi

Revolusi teknologi informasi telah memberikan perubahan signifikan bagi cara / gaya hidup manusia dalam berkonsumsi. Tentunya ini memberi perhatian khusus bagi kalangan produsen untuk intens dalam mengembangkan reputasi komoditasnya. Satu hal yang paling berpengaruh dalam hal produksi yakni branding. Sebuah merk, menjadi awal mula perkenalan sebuah produk dari produsen kepada konsumen. Mengapa branding ini menjadi begitu penting?

Fase Gaya Konsumsi Manusia

Hal ini telah dijelaskan oleh Alvin Toffler yang membagi tiga gelombang sebuah gaya konsumsi manusia. Gelombang pertama, yang menurutnya terjadi pada masa revolusi agrarian, pola konsumsi manusia yakni mengkonsumsi apa yang mereka produksi sendiri. Ini menjadi sebuah ciri interaksi masyarakat agrarian bahwa belum terdapat pasar ekonomi seperti yang dikatakan Adam Smith, sistem barter masih menjadi dominan dalam transaksi perdagangan.

Gelombang kedua, ditandai dengan pola produksi masal oleh kaum pengusaha setelah terjadinya revolusi industri. Dalam fase ini, pemisahan fungsi produsen dan konsumen begitu nyata, karena etika bekerja tidak lagi berafiliasi pada pertanian melainkan berupaya menjadi bagian dalam sebuah aktifitas di pabrik-pabrik yang memproduksi barang secara masal. Alhasil, konsumen akan mengkonsumsi barang dari barang produsen, tidak seperti apa yang terjadi di gelombang pertama.

Namun, seiring perkembangan jaman, setelah terjadi revolusi informasi, manusia mulai merubah gaya konsumsi yakni sebagai prosumen. Kecanggihan teknologi telah membawa perubahan dalam media informasi konsumen. Melalui pemberian informasi tentang barang/jasa melalui pasar elektronik membuat konsumen semakin mandiri dalam memilih barang/jasa dari produsen. Disini terjadi penguburan progresif garis pemisahan antara produsen dan konsumen karena konsumen juga tidak tergantung dengan produsen. Contoh: sejak peralatan kedokteran seperti stetoskop, pengukur tekanan darah, dll dijual bebas di pasaran, konsumen tidak lagi mengandalkan dokter untuk melakukan hal tersebut. Namun, yang terpenting adalah bahwa penguburan progresif konsumen-produsen ini adalah hanya dalam batas menggunakan fungsi jasa, bukan pada produksi barang.

Branding dan Globalisasi

Celia Lury mendefinisikan branding sebagai satu set hubungan antara produksi dan konsumsi. Branding melambangkan kualitas tersendiri dari sebuah produk/jasa yang ditawarkan. Meskipun bersifat intangible, pentingnya sebuah branding tidak terelakkan. Keberhasilan branding merupakan tolok ukur keberhasilan produk tersebut. Sebuah brand merupakan fase pertama dimana untuk mengenalkan barang/jasa kepada konsumen. Lebih jauh lagi, brand dapat menjadi lebih dari sekedar fashion, karena terdapat peningkatan reputasi produsen dalam hal sosial maupun lingkungan hidup.

Sedangkan Gabriella Giannachi, telah mengaitkan branding dengan globalisasi. Dalam faktanya, fungsi globalisasi seperti halnya brand yang tidak terlihat mempengaruhi relasi sosial, tidak hanya antar strata sosial, tetapi juga dalam etnis yang berbeda dan kelompok ekonomi/politik. Ini merupakan karakteristik sebuah brand dalam siklus ekonomi dari produsen ke konsumen. Sedangkan globalisasi menurutnya merupakan hal yang berkaitan dengan pemakaian produk & jasa secara global. Globalisasi tidak hanya sebuah brand, tetapi juga sebuah proses, media dan sebuah pengetahuan. Jadi brand merupakan salah satu bagian dari efek globalisasi.

Globalisasi sendiri juga membuka kesempatan bagi kapitalisme untuk mempengaruhi konsumen melalui branding. Dengan adanya globalisasi dapat membuka peluang bagi kapitalis menyajikan produk dan jasa secara global. Proses ini mengangkat spesifik aspek lokalitas sebagai merk global. Tidak dapat dipungkiri, branding sendiri mengalami proses glokalisasi. Budaya, adat, maupun kebiasaan lokal dimana brand itu lahir menjadi sebuah budaya global yang diikuti oleh konsumen dari barang tersebut.

Dengan demikian, kunci utama terletak pada kemampuan mengelola brand, bukan pada kepemilikan pabrik. Tesis ini sepintas bertolak belakang pada kesimpulan Marx mengenai kepemilikan alat produksi. Dengan pentingnya arti sebuah brand, maka kepemilikan alat produksi tidak lagi dominan untuk menguasai perekonomian. Seorang borjuis, dalam hal ini, tidak harus memiliki sebuah alat produksi namun harus mempunyai reputasi dari alat produksi (perusahaan, pabrik, dll) tersebut. Seperti contoh, Philip Moris membeli brand keju Kraft pada saat perusahaan itu kolaps. Salah satu alasannya adalah bahwa yang diinginkan olehnya adalah brand dari produk tersebut yang telah dikenal luas oleh masyarakat. Perubahan struktur kapitalisme dan geoekonomi ini semata-mata tidak menghilangkan dominasi borjuis di negara-negara maju. Kekaisaran tetap menjadi milik negara maju (karena memegang kunci utama ekonomi), sedangkan negara berkembang menjadi pemegang alat produksi.

Hubungan Perusahaan dan Pemerintah

Semakin meningkatnya perusahaan yang memiliki reputasi internasional tersebut tidak terlepas dari peran pemerintah sebagai penyedia kebijakan-kebijakan ekonomi. Perusahaan besar akan menyatukan pemerintah, modal, informasi, konsumen dan bakat dalam jaringan koalisi yang menciptakan nilai. Beberapa akan menjadi koalisi yang dipimpin pemerintah untuk menciptakan nilai geopolitik. Sedangkan beberapa akan menjadi aktivis (dipimpin koalisi) untuk menciptakan atau melestarikan nilai-nilai manusia seperti hak pekerja, hak asasi manusia maupun pencemaran lingkungan. Ini berarti bahwa penciptaan sebuah brand kepada pemerintah maupun masyarakat dapat membantu peningkatan keuntungan perusahaan tersebut.

Kesimpulan

Disaat alat produksi tidak lagi menjadi kunci utama kapitalisme, maka yang dibutuhkan adalah sebuah pengetahuan mengelola sebuah branding (branding managerial). Hal ini tentunya yang harus diperhatikan oleh negara-negara berkembang. Sebuah pilihan yang harus diputuskan adalah apakah negara tersebut berubah menjadi shaper atau tetap menjadi adapter. Shaper adalah yang menetapkan aturan-aturan dan interaksi yang akan mengatur aktivitas tertentu dalam dunia. Adapter adalah mereka yang menyesuaikan diri dengan aturan dan kerangka kerja interaksi yang dibentuk oleh orang lain dan belajar untuk mendapatkan keuntungan dengan cara mereka sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

  • Toffler, Alvin, 1989, Kebangkitan Prosumer , dalam Gelombang Ketiga: Bagian Kedua, terj., Jakarta: PT. Pantja Simpati.
  • Gabriella Giannachi, 2007, The Politics of New Media Theatre Life, New York: Routledge.
  • Klein, Naomi, 2000, New Branded World, dalam No Space, No Choice No Jobs, No Logo, London: Flamingo.

Menuju Kedaulatan Netokrasi

Kemunculan network society telah merubah pola ruang interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat. Manuel Castells mengatakan bahwa fenomena revolusi teknologi informasi berdampak pada perubahan ruang konvensional dalam interaksi menjadi ruang virtual (Castells 2004: 3). Selanjutnya, perubahan tersebut juga merubah perilaku masyarakat dalam manajemen informasi yang diperoleh, yakni dalam membentuk opini dari manajemen informasi tersebut. Pembentukan opini dalam dunia virtual tersebut dapat bertujuan mempengaruhi individu lain dalam aspek kultural, keagamaan, sosial dan organisasi politik.

Sedangkan Barry Wellman menjelaskan konsep network society bahwa masyarakat hidup dalam sebuah jejaring sosial tertentu yang akan membuat manusia terpisah dengan jejaring yang lain.dan menimbulkan “networked individualism” (Wellman 1973: 43). Tiga poin penting yang dipaparkan oleh Wellman adalah komunitas, aktifitas dan organisasi. Menurutnya sebuah organisasi akan dapat berkembang pesat dengan adanya networked individualism karena anggota-anggotanya akan merasa terikat dengan sendirinya dengan mengangkat isu spesifik, termasuk politik.

Melalui “migrasi” berbagai aktivitas sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan ke dalam ruang-ruang virtual, beralih pula ruang publik konvensional menjadi ruang publik virtual (cyberspace public sphere), yang di dalamnya realitas politik dibingkai, pandangan moral dibangun, ukuran nilai-nilai (values) diciptakan, proses keputusan disusun, berbagai pertukaran dan transaksi dimediasi, komunikasi dimediasi, dan aneka kebebasan dimanifestasikan. Aktifitas non-konvensional inilah yang membuat network society disebut sebagai ciri interaksi pada cyberspace (Lyon 2002: 24-30).

“Demokrasi Digital” atau “Aristokrasi Informasi” ?

Jika interaksi publik berubah pada cyberspace seperti apa yang dikatakan David Lyon, maka secara otomatis nilai-nilai yang terkandung dalam politik (seperti demokrasi, aristokrasi, sistem pemerintahan dan negara) ikut larut dalam keberadaan ruang virtual tersebut. Dengan adanya cyberspace tentunya peningkatan kepentingan dan membentuk pusat perhatian menjadi tidak terelakkan. Ini merupakan bentuk dan ekspresi kepentingan politik terhadap massa di era informasi yang cenderung seperti aristokrat dalam mengendalikan opini masyarakat.

Demokrasi sendiri mempunyai berbagai macam definisi, banyak teoritisi yang mengkaitkan demokrasi dengan kata sifat: pluralis, partisipatif, asosiasional, sosial, liberal, langsung, perwakilan, dan seterusnya (Raab 1997: 156). Perdebatan tentang klaim dan hak privasi mendiami wilayah wacana demokrasi liberal khususnya, serta menyediakan berbagai alasan untuk membatasi lingkup keputusan kolektif dan intervensi pemerintah. Definisi umum demokrasi liberal adalah sebuah sistem politik dimana orang membuat keputusan politik, tapi di mana terdapat keterbatasan pada apa yang mereka dapat membuat keputusan (Holden 1988:12).

Berbeda dengan sistem otoriter atau totaliter, demokrasi pada prinsipnya mungkin memfasilitasi, tetapi tidak memaksa orang untuk berinteraksi secara politis satu sama lain bahkan dengan negara melalui mekanisme yang tidak terbatas. Interaksi ini dapat dijaga melalui hukum dilindungi hak-hak kebebasan berserikat, kebebasan berbicara dan kebebasan pers. Freedom of information” juga mengungkapkan pada prinsip demokrasi dalam kaitannya dengan interaksi antara orang dan negara, argumen pendirian secara eksplisit menarik bagi norma demokrasi. Dengan demikian, manusia yang berada dalam jejaring informasi, seperti yang diungkapkan Barry Wellman diawal artikel ini, akan membentuk network individualism yang merupakan bentuk kebebasan berorganisasi dan berpendapat.

Namun, semakin pudarnya kontrol pemerintah akan derasnya arus informasi dikhawatirkan akan menjadi kesempatan bagi kaum elit/aristokrat untuk berusaha menyetir opini publik, baik melalui situs jejaring sosial maupun media elektronik (Loader 1997: 2). Kondisi semacam ini seakan menjadi pukulan telak bagi kaum demokrasi liberalis, bahwa peran pemerintah masih sangat dibutuhkan dalam era informasi. Oleh karena itu Manuel Castell menyebut ini sebagai “The Crisis of Democracy” (Castells 1997: 350).

Kemunculan Kedaulatan Netokrasi

Ketika sebuah konsep atau gagasan harus ditransformasi ke dalam suatu kebijakan, maka aspek politik dan operasional harus menjadi variabel penting di dalamnya. Demokrasi di masa depan digerogoti oleh aneka mesin jejaring, yang tak lagi bertumpu pada kekuasaan konvensional, baik kekuasaan seorang (otokrasi), beberapa orang (aristokrasi), maupun rakyat (demokrasi), melainkan pada kedaulatan jaringan (netokrasi). Ada peralihan dari model pengaturan konvensional ke arah multiplisitas jejaring (multiplicity), yang di dalamnya peran negara- bangsa lebih bersifat simbolik karena kedaulatan nyata dipegang oleh aneka jejaring (Hardt 2004: 4 ).

Pada tingkat sosial, terjadi peralihan dari masyarakat konvensional ke arah network society, yang multiplisitas relasinya melampaui kekuatan negara-bangsa dan menciptakan netokrasi sebagai kekuatan network (Castells 1996: 241). Perkembangan network society ini mengubah secara fundamental pandangan konvensional tentang masyarakat, rakyat, dan warga di dalam sistem demokrasi. Dengan melemahnya kedaulatan negara-bangsa, melemah pula “kedaulatan” (dalam ranah konvensional) itu sendiri di dalam sistem demokrasi karena di dalam aneka jejaring virtual kekuatan ”rakyat” (people) diubah menjadi kekuatan ”warga” (citizen) dalam definisi baru, yaitu individu-individu bebas yang menavigasi dirinya sendiri di dalam jaringan, tanpa perlu mengikatkan diri pada kekuatan rakyat sebagai kesatuan. Kekuatan rakyat nanti bersaing dengan kekuatan ”warga jejaring” (network citizen).

Kesimpulan

Era cyberspace merupakan ciri baru bagi manusia modern dalam berinteraksi. Dalam ranah tersebut, manusia juga melakukan partisipasi politik seperti berorganisasi, berpendapat, mendukung maupun mengkritik pemerintah, yang juga merupakan nilai-nilai yang tercermin dalam demokrasi. Walaupun banyak dipengaruhi oleh kepentingan golongan, opini publik melalui situs jejaring tertentu berpengaruh pada kemunculan kedaulatan netokrasi karena pergeseran tersebut. Dengan tidak bermaksud membawa ke arah utopia, dapat disimpulkan bahwa nantinya kedaulatan netokrasi juga berupaya mendorong lahirnya virtual state. Ini merupakan konsekuensi logis jika nilai demokrasi dan kedaulatan konvensional semakin tereduksi.

DAFTAR PUSTAKA

Castells, Manuel. 1996. The Rise of The Network Society (The Information Age: Economy, Society and Culture). Cambridge: Blackwell Publishers.

Castells, Manuel. 1997. “Informational Politics and the Crisis of Democracy” dalam the Power of Identity. Oxford: Blackwell Publisher.

Castells, Manuel. 2004. The Network Society: A Cross-cultural Perspective. Massachusetts: Edwar Elgar Publishing.

Hardt, Michael. 2004. Multitude: War and Democracy in the Age of Empire. London: Penguin Books.

Holden, B. 1988. Understanding Liberal Democracy. Oxford: Philip Allen.

Loader, Brian D. 1997. The Governance of Cyberspace: Politics, Technology and Global Restructuring. London: Routledge.

Lyon, David. 2002. “Cyberspace: Beyond the Information Society?” dalam J. Armitrage dan J. Roberts, Living with Cyberspace: Technology and Society in the 21st Century. London: Continuum.

Raab, Charles D. 1997. “Piracy, Democracy, Information” dalam Brian D. Loader, The Governance of Cyberspace: Politics, Technology and Global Restructuring. London: Routledge.

Wellman, Barry. 1973. The Network City: Sociological Inquiry. Cambridge: Cambridge University Press.