Jumat, 11 Desember 2009

The Rise of Branding : Imbas Kemajuan Media Informasi

Revolusi teknologi informasi telah memberikan perubahan signifikan bagi cara / gaya hidup manusia dalam berkonsumsi. Tentunya ini memberi perhatian khusus bagi kalangan produsen untuk intens dalam mengembangkan reputasi komoditasnya. Satu hal yang paling berpengaruh dalam hal produksi yakni branding. Sebuah merk, menjadi awal mula perkenalan sebuah produk dari produsen kepada konsumen. Mengapa branding ini menjadi begitu penting?

Fase Gaya Konsumsi Manusia

Hal ini telah dijelaskan oleh Alvin Toffler yang membagi tiga gelombang sebuah gaya konsumsi manusia. Gelombang pertama, yang menurutnya terjadi pada masa revolusi agrarian, pola konsumsi manusia yakni mengkonsumsi apa yang mereka produksi sendiri. Ini menjadi sebuah ciri interaksi masyarakat agrarian bahwa belum terdapat pasar ekonomi seperti yang dikatakan Adam Smith, sistem barter masih menjadi dominan dalam transaksi perdagangan.

Gelombang kedua, ditandai dengan pola produksi masal oleh kaum pengusaha setelah terjadinya revolusi industri. Dalam fase ini, pemisahan fungsi produsen dan konsumen begitu nyata, karena etika bekerja tidak lagi berafiliasi pada pertanian melainkan berupaya menjadi bagian dalam sebuah aktifitas di pabrik-pabrik yang memproduksi barang secara masal. Alhasil, konsumen akan mengkonsumsi barang dari barang produsen, tidak seperti apa yang terjadi di gelombang pertama.

Namun, seiring perkembangan jaman, setelah terjadi revolusi informasi, manusia mulai merubah gaya konsumsi yakni sebagai prosumen. Kecanggihan teknologi telah membawa perubahan dalam media informasi konsumen. Melalui pemberian informasi tentang barang/jasa melalui pasar elektronik membuat konsumen semakin mandiri dalam memilih barang/jasa dari produsen. Disini terjadi penguburan progresif garis pemisahan antara produsen dan konsumen karena konsumen juga tidak tergantung dengan produsen. Contoh: sejak peralatan kedokteran seperti stetoskop, pengukur tekanan darah, dll dijual bebas di pasaran, konsumen tidak lagi mengandalkan dokter untuk melakukan hal tersebut. Namun, yang terpenting adalah bahwa penguburan progresif konsumen-produsen ini adalah hanya dalam batas menggunakan fungsi jasa, bukan pada produksi barang.

Branding dan Globalisasi

Celia Lury mendefinisikan branding sebagai satu set hubungan antara produksi dan konsumsi. Branding melambangkan kualitas tersendiri dari sebuah produk/jasa yang ditawarkan. Meskipun bersifat intangible, pentingnya sebuah branding tidak terelakkan. Keberhasilan branding merupakan tolok ukur keberhasilan produk tersebut. Sebuah brand merupakan fase pertama dimana untuk mengenalkan barang/jasa kepada konsumen. Lebih jauh lagi, brand dapat menjadi lebih dari sekedar fashion, karena terdapat peningkatan reputasi produsen dalam hal sosial maupun lingkungan hidup.

Sedangkan Gabriella Giannachi, telah mengaitkan branding dengan globalisasi. Dalam faktanya, fungsi globalisasi seperti halnya brand yang tidak terlihat mempengaruhi relasi sosial, tidak hanya antar strata sosial, tetapi juga dalam etnis yang berbeda dan kelompok ekonomi/politik. Ini merupakan karakteristik sebuah brand dalam siklus ekonomi dari produsen ke konsumen. Sedangkan globalisasi menurutnya merupakan hal yang berkaitan dengan pemakaian produk & jasa secara global. Globalisasi tidak hanya sebuah brand, tetapi juga sebuah proses, media dan sebuah pengetahuan. Jadi brand merupakan salah satu bagian dari efek globalisasi.

Globalisasi sendiri juga membuka kesempatan bagi kapitalisme untuk mempengaruhi konsumen melalui branding. Dengan adanya globalisasi dapat membuka peluang bagi kapitalis menyajikan produk dan jasa secara global. Proses ini mengangkat spesifik aspek lokalitas sebagai merk global. Tidak dapat dipungkiri, branding sendiri mengalami proses glokalisasi. Budaya, adat, maupun kebiasaan lokal dimana brand itu lahir menjadi sebuah budaya global yang diikuti oleh konsumen dari barang tersebut.

Dengan demikian, kunci utama terletak pada kemampuan mengelola brand, bukan pada kepemilikan pabrik. Tesis ini sepintas bertolak belakang pada kesimpulan Marx mengenai kepemilikan alat produksi. Dengan pentingnya arti sebuah brand, maka kepemilikan alat produksi tidak lagi dominan untuk menguasai perekonomian. Seorang borjuis, dalam hal ini, tidak harus memiliki sebuah alat produksi namun harus mempunyai reputasi dari alat produksi (perusahaan, pabrik, dll) tersebut. Seperti contoh, Philip Moris membeli brand keju Kraft pada saat perusahaan itu kolaps. Salah satu alasannya adalah bahwa yang diinginkan olehnya adalah brand dari produk tersebut yang telah dikenal luas oleh masyarakat. Perubahan struktur kapitalisme dan geoekonomi ini semata-mata tidak menghilangkan dominasi borjuis di negara-negara maju. Kekaisaran tetap menjadi milik negara maju (karena memegang kunci utama ekonomi), sedangkan negara berkembang menjadi pemegang alat produksi.

Hubungan Perusahaan dan Pemerintah

Semakin meningkatnya perusahaan yang memiliki reputasi internasional tersebut tidak terlepas dari peran pemerintah sebagai penyedia kebijakan-kebijakan ekonomi. Perusahaan besar akan menyatukan pemerintah, modal, informasi, konsumen dan bakat dalam jaringan koalisi yang menciptakan nilai. Beberapa akan menjadi koalisi yang dipimpin pemerintah untuk menciptakan nilai geopolitik. Sedangkan beberapa akan menjadi aktivis (dipimpin koalisi) untuk menciptakan atau melestarikan nilai-nilai manusia seperti hak pekerja, hak asasi manusia maupun pencemaran lingkungan. Ini berarti bahwa penciptaan sebuah brand kepada pemerintah maupun masyarakat dapat membantu peningkatan keuntungan perusahaan tersebut.

Kesimpulan

Disaat alat produksi tidak lagi menjadi kunci utama kapitalisme, maka yang dibutuhkan adalah sebuah pengetahuan mengelola sebuah branding (branding managerial). Hal ini tentunya yang harus diperhatikan oleh negara-negara berkembang. Sebuah pilihan yang harus diputuskan adalah apakah negara tersebut berubah menjadi shaper atau tetap menjadi adapter. Shaper adalah yang menetapkan aturan-aturan dan interaksi yang akan mengatur aktivitas tertentu dalam dunia. Adapter adalah mereka yang menyesuaikan diri dengan aturan dan kerangka kerja interaksi yang dibentuk oleh orang lain dan belajar untuk mendapatkan keuntungan dengan cara mereka sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

  • Toffler, Alvin, 1989, Kebangkitan Prosumer , dalam Gelombang Ketiga: Bagian Kedua, terj., Jakarta: PT. Pantja Simpati.
  • Gabriella Giannachi, 2007, The Politics of New Media Theatre Life, New York: Routledge.
  • Klein, Naomi, 2000, New Branded World, dalam No Space, No Choice No Jobs, No Logo, London: Flamingo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar