Jumat, 11 Desember 2009

Menuju Kedaulatan Netokrasi

Kemunculan network society telah merubah pola ruang interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat. Manuel Castells mengatakan bahwa fenomena revolusi teknologi informasi berdampak pada perubahan ruang konvensional dalam interaksi menjadi ruang virtual (Castells 2004: 3). Selanjutnya, perubahan tersebut juga merubah perilaku masyarakat dalam manajemen informasi yang diperoleh, yakni dalam membentuk opini dari manajemen informasi tersebut. Pembentukan opini dalam dunia virtual tersebut dapat bertujuan mempengaruhi individu lain dalam aspek kultural, keagamaan, sosial dan organisasi politik.

Sedangkan Barry Wellman menjelaskan konsep network society bahwa masyarakat hidup dalam sebuah jejaring sosial tertentu yang akan membuat manusia terpisah dengan jejaring yang lain.dan menimbulkan “networked individualism” (Wellman 1973: 43). Tiga poin penting yang dipaparkan oleh Wellman adalah komunitas, aktifitas dan organisasi. Menurutnya sebuah organisasi akan dapat berkembang pesat dengan adanya networked individualism karena anggota-anggotanya akan merasa terikat dengan sendirinya dengan mengangkat isu spesifik, termasuk politik.

Melalui “migrasi” berbagai aktivitas sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan ke dalam ruang-ruang virtual, beralih pula ruang publik konvensional menjadi ruang publik virtual (cyberspace public sphere), yang di dalamnya realitas politik dibingkai, pandangan moral dibangun, ukuran nilai-nilai (values) diciptakan, proses keputusan disusun, berbagai pertukaran dan transaksi dimediasi, komunikasi dimediasi, dan aneka kebebasan dimanifestasikan. Aktifitas non-konvensional inilah yang membuat network society disebut sebagai ciri interaksi pada cyberspace (Lyon 2002: 24-30).

“Demokrasi Digital” atau “Aristokrasi Informasi” ?

Jika interaksi publik berubah pada cyberspace seperti apa yang dikatakan David Lyon, maka secara otomatis nilai-nilai yang terkandung dalam politik (seperti demokrasi, aristokrasi, sistem pemerintahan dan negara) ikut larut dalam keberadaan ruang virtual tersebut. Dengan adanya cyberspace tentunya peningkatan kepentingan dan membentuk pusat perhatian menjadi tidak terelakkan. Ini merupakan bentuk dan ekspresi kepentingan politik terhadap massa di era informasi yang cenderung seperti aristokrat dalam mengendalikan opini masyarakat.

Demokrasi sendiri mempunyai berbagai macam definisi, banyak teoritisi yang mengkaitkan demokrasi dengan kata sifat: pluralis, partisipatif, asosiasional, sosial, liberal, langsung, perwakilan, dan seterusnya (Raab 1997: 156). Perdebatan tentang klaim dan hak privasi mendiami wilayah wacana demokrasi liberal khususnya, serta menyediakan berbagai alasan untuk membatasi lingkup keputusan kolektif dan intervensi pemerintah. Definisi umum demokrasi liberal adalah sebuah sistem politik dimana orang membuat keputusan politik, tapi di mana terdapat keterbatasan pada apa yang mereka dapat membuat keputusan (Holden 1988:12).

Berbeda dengan sistem otoriter atau totaliter, demokrasi pada prinsipnya mungkin memfasilitasi, tetapi tidak memaksa orang untuk berinteraksi secara politis satu sama lain bahkan dengan negara melalui mekanisme yang tidak terbatas. Interaksi ini dapat dijaga melalui hukum dilindungi hak-hak kebebasan berserikat, kebebasan berbicara dan kebebasan pers. Freedom of information” juga mengungkapkan pada prinsip demokrasi dalam kaitannya dengan interaksi antara orang dan negara, argumen pendirian secara eksplisit menarik bagi norma demokrasi. Dengan demikian, manusia yang berada dalam jejaring informasi, seperti yang diungkapkan Barry Wellman diawal artikel ini, akan membentuk network individualism yang merupakan bentuk kebebasan berorganisasi dan berpendapat.

Namun, semakin pudarnya kontrol pemerintah akan derasnya arus informasi dikhawatirkan akan menjadi kesempatan bagi kaum elit/aristokrat untuk berusaha menyetir opini publik, baik melalui situs jejaring sosial maupun media elektronik (Loader 1997: 2). Kondisi semacam ini seakan menjadi pukulan telak bagi kaum demokrasi liberalis, bahwa peran pemerintah masih sangat dibutuhkan dalam era informasi. Oleh karena itu Manuel Castell menyebut ini sebagai “The Crisis of Democracy” (Castells 1997: 350).

Kemunculan Kedaulatan Netokrasi

Ketika sebuah konsep atau gagasan harus ditransformasi ke dalam suatu kebijakan, maka aspek politik dan operasional harus menjadi variabel penting di dalamnya. Demokrasi di masa depan digerogoti oleh aneka mesin jejaring, yang tak lagi bertumpu pada kekuasaan konvensional, baik kekuasaan seorang (otokrasi), beberapa orang (aristokrasi), maupun rakyat (demokrasi), melainkan pada kedaulatan jaringan (netokrasi). Ada peralihan dari model pengaturan konvensional ke arah multiplisitas jejaring (multiplicity), yang di dalamnya peran negara- bangsa lebih bersifat simbolik karena kedaulatan nyata dipegang oleh aneka jejaring (Hardt 2004: 4 ).

Pada tingkat sosial, terjadi peralihan dari masyarakat konvensional ke arah network society, yang multiplisitas relasinya melampaui kekuatan negara-bangsa dan menciptakan netokrasi sebagai kekuatan network (Castells 1996: 241). Perkembangan network society ini mengubah secara fundamental pandangan konvensional tentang masyarakat, rakyat, dan warga di dalam sistem demokrasi. Dengan melemahnya kedaulatan negara-bangsa, melemah pula “kedaulatan” (dalam ranah konvensional) itu sendiri di dalam sistem demokrasi karena di dalam aneka jejaring virtual kekuatan ”rakyat” (people) diubah menjadi kekuatan ”warga” (citizen) dalam definisi baru, yaitu individu-individu bebas yang menavigasi dirinya sendiri di dalam jaringan, tanpa perlu mengikatkan diri pada kekuatan rakyat sebagai kesatuan. Kekuatan rakyat nanti bersaing dengan kekuatan ”warga jejaring” (network citizen).

Kesimpulan

Era cyberspace merupakan ciri baru bagi manusia modern dalam berinteraksi. Dalam ranah tersebut, manusia juga melakukan partisipasi politik seperti berorganisasi, berpendapat, mendukung maupun mengkritik pemerintah, yang juga merupakan nilai-nilai yang tercermin dalam demokrasi. Walaupun banyak dipengaruhi oleh kepentingan golongan, opini publik melalui situs jejaring tertentu berpengaruh pada kemunculan kedaulatan netokrasi karena pergeseran tersebut. Dengan tidak bermaksud membawa ke arah utopia, dapat disimpulkan bahwa nantinya kedaulatan netokrasi juga berupaya mendorong lahirnya virtual state. Ini merupakan konsekuensi logis jika nilai demokrasi dan kedaulatan konvensional semakin tereduksi.

DAFTAR PUSTAKA

Castells, Manuel. 1996. The Rise of The Network Society (The Information Age: Economy, Society and Culture). Cambridge: Blackwell Publishers.

Castells, Manuel. 1997. “Informational Politics and the Crisis of Democracy” dalam the Power of Identity. Oxford: Blackwell Publisher.

Castells, Manuel. 2004. The Network Society: A Cross-cultural Perspective. Massachusetts: Edwar Elgar Publishing.

Hardt, Michael. 2004. Multitude: War and Democracy in the Age of Empire. London: Penguin Books.

Holden, B. 1988. Understanding Liberal Democracy. Oxford: Philip Allen.

Loader, Brian D. 1997. The Governance of Cyberspace: Politics, Technology and Global Restructuring. London: Routledge.

Lyon, David. 2002. “Cyberspace: Beyond the Information Society?” dalam J. Armitrage dan J. Roberts, Living with Cyberspace: Technology and Society in the 21st Century. London: Continuum.

Raab, Charles D. 1997. “Piracy, Democracy, Information” dalam Brian D. Loader, The Governance of Cyberspace: Politics, Technology and Global Restructuring. London: Routledge.

Wellman, Barry. 1973. The Network City: Sociological Inquiry. Cambridge: Cambridge University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar